Senin, 03 Januari 2011

My Angel and My Hero

Oleh: Noor Aini

Imsaaaaa…aaaaak… Imsaaaaa….aaaaak… Imsaaaaaak… Itulah penyambutan hari kelima bulan puasa tahun 1429 H. Dengan segera aku dan seluruh keluarga menuju dapur. Mengambil segelas air yang tersedia dalam ketel alumunium yang sudah tua. Ceguk…ceguk…ceguk… suara yang kudengar saat mereka meminum air segar tersebut dengan hati yang bersih pula. Setelah itu, kami berdoa bersama sebagai niat di hari puasa agar diberi kelancaran dan keberkahan dari Allah SWT.

Beberapa menit kemudian, suara adzan pun menggemparkan alam di hari yang masih begitu pagi. Beberapa ayam terdengar sudah berlomba-lomba meramaikan kesunyiannya. Kemudian, ibu, kakak, adik begitu pula denganku mengambil air wudhu untuk shalat subuh berjamah di masjid yang tak jauh dari rumahku. Ibukulah yang mengajarkan kami hal yang demikian semenjak kami masih kecil. Berjalan perlahan dengan menghirup udara segar sering aku lakukan setiap bulan puasa. Sementara ayahku, beliau tidak sempat shalat berjamaah di masjid karena pagi itu beliau harus pergi ke Semarang untuk mengurus pekerjaannya. Beliau bekerja sebagai karyawan swasta. Maka, beliau putuskan untuk shalat subuh di rumah saja. Saat kami pulang dari masjid, beliau sudah berangkat.

Pukul 06.00 WIB, aku keluar untuk memberi makan ayam-ayamku yang sudah berbaris di depan pintu belakang. Keoook…keoook…keooook… demikian suara belas kasihan mereka. Aku letakkan semanci jagung di depan mereka dan mereka langsung menyerbu. Betapa akrabnya ayam-ayam tersebut saat kelaparan. tidak tua dan tidak muda. Tidak seperti sebagian manusia yang saling bertengkar, bahkan membunuh saudaranya sendiri hanya untuk memperoleh harta.

Karena hari itu adalah hari libur, maka aku membantu ibuku menyapu halaman rumah bersama dua saudaraku. Walaupun aku anak perempuan dari tiga bersaudara, sementara dua saudaraku laki-laki, tapi mereka pengertian padaku. Mereka tidak membedakan apakah itu pekerjaan buat perempuan atau bukan, bagi mereka semua pekerjaan sama asalkan halal.

Setelah kami selesai membersihkan halaman rumah, sejenak aku melihat cuaca hari ini. Langit begitu cerah dihiasi sinar matahari yang terang, membawa kehidupan di alam yang subur ini. Burung-burung yang selalu mondar-mandir, hinggap di pohon ini, hinggap di pohon itu dengan suara kicauannya yang selalu mengiringi langka di setiap kegiatan di pedesaan. Betapa indahnya ciptaan Allah. Melihat pagi yang begitu indah, aku rasa alam cukup bersahabat dengan manusia.

Kulangkahkan kakiku ke dapur, melihat ibuku yang sedang mencuci piring, wajan, panci, sungguh melakukannya dengan penuh senyuman di raut wajahnya.
“Ono opo, Dek? Wis rampung sing nyapu latar?” tanya ibuku dengan suara yang lemah lembut.
“Ora ono opo-opo. Sampun, Buk.”

Setelah mencuci piring, ibuku menyapu lantai rumah yang penuh dengan kotoran tak dikenal. Tanpa mengatakan bantu ibu menyapu, Nak!, beliau melakukannya demi anaknya. Entah kenapa aku hanya bisa terdiam melihatnya.

Pukul 08.30 WIB, aku nge-game di komputer. Beberapa menit kemudian, aku mendengar suara gemericik air yang mengalir. Aku tahu bahwa ibuku sedang mencuci baju. Kemudian aku menghampiri ibuku dan berniat untuk membantunya. Saat aku berdiri di depan ember cucian, baru kupegang satu baju dan belum sempat aku bilas, ibuku sudah berkata, “Ra usah, Dek. Men ibu wae sing ngumbahi. Koe kono nek arep dolanan yo dolanano.”
“Ora po-po, Buk. Biasane yo ngewangi.”
“Ora-ora, kono nek arep dolanan yo dolanan wae. Ibuk yo wis biasa ngeneki.” Kulihat di wajah ibuku begitu ikhlas mengatakan hal itu. Sementara aku, hanya bisa diam sambil melanjutkan membilas baju-baju yang sudah disikat oleh ibuku. Dalam hatiku berkata, My Mother is my Angel. Beliau yang telah melahirkan kami, yang selalu melindungi kami dari apapun yang mengancam kami. Bahkan yang melindungi kami dari debu kecil agar kami tidak sakit.

Sekitar pukul 09.30 WIB, kami berempat berada di teras. Kami duduk di gelaran tikar sambil ngobrol dan sejenak tertawa bersama. Tapi, tiba-tiba salah seorang teman kerja ayahku menghampiri kami. Dia berjalan dengan sangat tergesa-gesa, lalu aku melihat raut wajah ibuku yang mulai tampak resah.
“Ono opo, Mas?” tanya ibuku dengan penuh bimbang.
“Bapake, Buk,” jawab orang itu dengan nafas yang terengah-engah.
“Bapake, kenopo?”
“Bapake mau esuk. Mau esuk…. kecelakaan.”

Kami yang mendengar itu benar-benar tidak percaya, semua keadaan seakan-akan langsung terasa tegang.
“La trus, Bapake piye?” tanya ibuku lagi.
“Bapake ora po-po. Tapi, kandane Pak Yadi karo Pak Afril digowo ning rumah sakit soale ono tulang sing patah.”

Ibu, saudaraku dan aku pun kembali masuk ke dalam rumah. Dalam renungan, aku berharap agar tidak terjadi apa-apa pada ayahku. Setiap pagi aku selalu berdoa kepada Allah agar aku dan seluruh anggota keluargaku selalu dilindungi oleh-Nya. Aku percaya bahwa doaku pasti dikabulkan.

Sekitar satu jam kemudian, ada suara langkah sepatu yang masuk ke rumahku. Kemudian dia membuka korden depan, dan apa yang kulihat benar-benar itu adalah ayahku. Tidak terjadi apa-apa padanya. Beliau benar-benar sehat wal’afiat. Tak ada sedikit pun luka yang menggores kulitnya. Subhanallah, apa yang baru saja terjadi pada ayahku.

Ibuku yang melihat ayahku pulang dengan keadaan yang demikian merasa sangat bersyukur. Sejenak ayahku duduk santai di kursi, memejamkan mata sambil menarik nafas dalam-dalam. Setelah cukup istirahat, beliau kembali ke kantornya untuk mengurus kejadian yang baru dialaminya tersebut.

Malam harinya, ayahku menceritakan kejadian yang terjadi padanya. Pagi hari sebelum dia berangkat, dia berwudhu dan berdoa kepada Allah agar diberi kelancaran dan keselamatan di perjalanan nanti. Kebetulan beliau bersama kedua teman kerjanya yang bernama Pak Yadi dan Pak Afril. Mereka berangkat dengan menggunakan mobil. Sementara ayahku yang menjadi sopirnya. Kecelakaan itu terjadi sekitar pukul 07.30 saat ada seorang pengendara sepeda motor yang ingin menyeberang. Saat pengendara sepeda motor itu berada di pembatas jalan kanan dan kiri, dia langsung melaju terus tanpa menghiraukan ada mobil dari arah barat yang masih melaju cukup kencang. Mobil itu adalah mobil yang dikendarai oleh ayahku. Secara spontan, ayahku berusaha menghindarinya. Tapi arah belokannya ke kanan sehingga masuk ke jalan dari arah timur.

Kemudian dari arah timur ada sebuah truk yang melaju tepat di depan mobil. Mobil yang ditumpangi oleh ayahku langsung terguling 3 kali dan terseret sepanjang 5 meter hingga menimpa dua orang pengendara sepeda motor kakak beradik yang hendak membeli baju lebaran. Kejadian itu menyebabkan Pak Yadi mengalami retak tulang di bagian bahu begitu pula Pak Afril, kedua kakak beradik itu meninggal dunia saat mendapat perawatan di rumah sakit. Sementara ayahku, tidak terjadi apa-apa padanya. Beliau bilang bahwa saat sadarkan diri, beliau sudah berdiri di depan mobilnya. Pak Afril yang duduknya bersebelahan dengan ayahku yang saat itu masih sadar pun tak tahu bagaimana ayahku bisa keluar. Padahal, posisi mobilnya mengguling ke kiri dan pintu mobil dalam keadaan masih tertutup. Belum ada orang yang menolong saat itu.

Sebelum aku tidur, aku terus merenung dengan apa yang terjadi pada ayahku. Keluar dari mobil tanpa ada seorang pun yang tahu bagaimana caranya beliau keluar dari dalam mobil dengan keadaan yang seperti itu. Bahkan, ayahku sendiri tidak tahu. Bagaimana sadarnya bisa saat berdiri di depan mobilnya? Itulah yang selalu ingin kuketahui. Mungkinkah malaikat yang telah menolong ayahku?

Oh…. Ya Allah. Engkau Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Engkau tunjukkan salah satu keajaibanmu kepada hamba. Lalu, kurenungkan kembali dengan air mata yang bercucuran. Ayahku mencari nafkah untuk keluarganya bahkan sampai rela mengorbankan nyawanya, tidakkah itu tindakan yang begitu mulia.

Kemudian, aku membaca sebuah buku pinjaman dari perpustakaan sekolah dengan judul “Super Teenager : Bikin Remaja Biasa menjadi Ruarrr Biasaaa!!!” karya Fadlan El-Qossam. Buku itulah yang menggugah hatiku agar selalu bersyukur atas apapun yang telah diberikan dari Allah SWT. Dan sebuah kutipan yang akan selalu kuingat bahwa bagaimanapun keadaan orang tuamu, kamu harus tetap berani berkata : “My Father is my Hero”.

Aku benar-benar bangga lahir bersama orang tua seperti mereka. Orang tua yang benar-benar mulia. Orang tua yang benar-benar bangga memiliki kami. Orang tua yang selalu memberikan yang terbaik untuk kami.

Aku bangga lahir di bumi ini. Aku bangga lahir di Indonesia. Aku bangga masih bisa melihat, mendengarkan, menyentuh, dan merasakan apa yang ada di alam semesta ini. Terlebih, aku bangga, bangga, dan bangga menjadi umat Islam.
Alhamdulillah…..

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More