Senin, 03 Januari 2011

Tiada Cahaya Tanpa Kegelapan


Oleh: Noor Aini

Aku lahir dari tiga bersaudara. Aku adalah anak kedua, sementara kakak dan adikku laki-laki. Aku lahir dengan keadaan fisik yang berbeda dari kedua saudaraku. Mereka terlahir dengan normal dan fisik yang sempurna. Sementara aku memiliki kekurangan pada pendengaran dan bagian tubuh sebelah kiriku atau tergantung pendapat orang-orang.

Ketika aku duduk di kelas 2 SMP, cobaan berat menimpaku. Pendengaranku sedikit terganggu. Aku tidak bisa mendengar dengan jelas jika seseorang ingin mengatakan sesuatu padaku. Dia harus mengulangnya dua atau tiga, bahkan lebih agar aku bisa mendengar apa yang dia katakan. Hingga suatu hari seorang guru menanyaiku sesuatu karena saat itu aku duduk di bangku depan. Dia menanyaiku siapa wali kelasku. Aku harus bilang “apa” sampai 3 kali padanya. Sebenarnya aku tetap tidak tahu apa yang beliau katakan. Lalu, terpaksa aku menggunakan isyarat dengan menggelengkan kepala. Guruku mengira aku tidak kenal waliku. Aku sadar apa yang beliau katakan ketika beliau menanyakannya ulang kepada teman di belakangku. Aku begitu malu saat itu.

Kemudian, aku menceritakan kejadian itu kepada teman terbaikku. Tak lama setelah itu, dia justru menyebarkan berita bahwa aku ini anak tuli kepada semua teman sekelasku. Memang, mereka tidak langsung mengungkapkan itu padaku. Hanya saja, aku tahu dari sikap mereka padaku yang selalu menertawaiku setiap kami ngobrol bersama. Itu lebih menyakiti hatiku.

Saat aku duduk di kelas 3 SMP, aku memiliki teman sebangku yang lebih pengertian dan baik dari teman kelas duaku. Dia tidak pernah membuatku kecewa. Dia biasa aku panggil Siti. Dia pun memiliki teman baik di lain kelas. Dia adalah teman baikku pula, namanya Dewi. Suatu hari ketika kami pulang bersama, Dewi mengatakan sesuatu kepadaku.
“Drijimu kok cilik-cilik we? Medeni,” kata Dewi seraya memegang jari-jariku.
“Eh, ho’o. Kok iso ngono we, Nor?” lanjut Si Siti dengan suara lemah lembutnya.
Lalu aku jawab, “Wis ket lahir.”
“Eh…, delok’en, Sit. Aku dadi keroso jijik, medeni… Hiiiiii….,” kata Dewi dengan raut wajah jijiknya.
Aku dan Siti hanya diam tidak menanggapi apa yang Dewi katakan.

Ujian Akhir Nasional pun tiba. Aku tidak begitu menghiraukan apa yang telah mereka katakan padaku. Yang terpenting adalah aku bisa lulus dengan nilai yang baik. Hari yang ditunggu-tunggu pun tiba. Saat sebuah amplop yang berisi surat bersejarah dalam hidupku itu dibagikan kepada orang tuaku. Dan ternyata……. Alhamdulillah aku lulus dengan nilai yang cukup memuaskan, tentunya dari hasil kerja kerasku sendiri. Namun, entah kenapa aku masih berpikir sesuatu pada temanku yang hidup dalam kondisi fisik yang sempurna dan nilai yang lebih tinggi dari nilaiku. Mungkin Allah lebih sayang pada mereka. Tapi, sesaat kemudian aku segera menghapus prasangka yang demikian. Aku percaya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.

Penerimaan siswa-siswi baru di SMA telah dibuka. Aku langsung mendaftar ke SMA 2. Karena nilaiku yang begitu dekat dengan batas minimum nilai penerimaannya, maka kuputuskan untuk daftar di SMA lain yang tentunya masih berstandar SSN. Selama MOS, aku memiliki teman yang cukup banyak. Aku merasa menikmatinya dan tidak terbebani dengan ejekan-ejekan yang pernah teman SMP-ku katakan padaku.

Kupikir aku sudah terbebas dengan cobaan itu, tapi yang terjadi justru sebaliknya. Aku memiliki teman sebangku yang bernama Ari. Dan dua teman di belakangku yang bernama Tari dan Dika. Dari teman-teman sekelasku, kami berempatlah yang paling aktif memperhatikan pelajaran.

Suatu hari kami sekelas melakukan praktikum biologi. Kami harus pindah ruang untuk praktek tersebut. Dalam perjalanan menuju ruang praktek, Ari mengatakan bahwa kakiku begitu kecil dan pendek. Untuk yang kedua kalinya, dia pun mengatakan jari-jariku begitu pendek. Dia menganggap kalau apa yang aku kerjakan lebih buruk dari apa yang dia kerjakan, tidak bisa melakukan sesuatu dengan benar. Dengan penuh lapang dada aku terima ejekan itu. Aku jawab, “Emboh. Aku durung ngerti.”

Keesokan harinya, kami ada kegiatan di masjid. Tentunya kami harus melepas alas kaki. Kemudian, salah seorang temanku mengatakan bahwa jari-jari kaki kiriku sangat kecil.
“Opo koe disek lahir prematur tow? Aku yow lahir premature, tapi ora nganti ngono kui,” katanya.
Aku hanya bisa tersenyum padanya.

Tiba pertengahan semester genap, kami murid kelas satu ditugaskan untuk membuat laporan outdoor session yang pernah dilakukan pada semester sebelumnya secara berkelompok. Saat itu, aku berkelompok dengan Ari, Tari, dan Dika. Kami membuat laporan itu saat liburan UAN kelas tiga di rumahku yang tak jauh dari sekolah. Dalam suatu diskusi, aku mengajukan pernyataan, tapi mereka tidak menghiraukanku seakan-akan aku dianggap tidak ada. Saat mereka yang mengajukan pernyataan, aku hargai mereka. Hingga saat itu aku benar-benar tidak mendengar apa yang Ari katakan padaku. Sungguh aku tidak berniat cuek padanya. Dia justru memarahiku.
“Weh, tak takoni malah meneng wae ki loh,” itulah marah Ari padaku.
“Wis, biasa. Connect-ke sui wonge. Dadi ndadak nganggo mix trus dipolke suarane,” kata Dika, walaupun dia hanya bercanda saja.

Mereka bertiga langsung menertawaiku. Aku pun ikut tertawa walaupun sebenarnya hatiku sangat sakit. Sebenarnya, tidak masalah bagiku kalau mereka mengejekku bahwa jari-jari dan kakiku pendek dan kecil. Tapi, hinaan terberat bagiku adalah jika mereka mengejek pendengaranku. Sebenarnya apa yang mereka ejek. Lagipula, aku masih bisa mendengar, hanya kurang bisa mendengar dengan jelas.

Peristiwa itu hampir membuat teman satu kelasku tahu tentang diriku, bahkan satu sekolahan. Mereka terus menertawaiku karena aku dianggap tuli. Aku merasa bahwa aku adalah anak yang paling terhina, menjadi bahan tertawaan mereka.

Sepulang sekolah, aku langsung tidur di atas ranjang yang empuk. Dalam tangisan, aku berdoa agar Allah mengampuni dosa-dosa yang pernah aku lakukan begitupun dosa mereka yang secara sengaja maupun tidak sengaja telah melukai hatiku. Sungguh aku tak bisa menahan ini lagi. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Aku terus dan terus menangis hingga terdengar suara hati nuraniku yang paling dalam.

“Janganlah kamu terus bersedih. Sesungguhnya, cobaan itu akan membuatmu tahu siapa dirimu sebenarnya dan apa yang harus kamu lakukan, yang terbaik untuk dirimu dan orang lain. Allah tidak akan memberi cobaan yang di luar batas kemampuan hamba-hamba-Nya. Itu berarti kamu bisa menghadapinya. Cobaan membuktikan seberapa besar cinta-Nya kepada hamba-hamba-Nya. Semakin berat cobaan-Nya, maka Allah pun semakin cinta kepadamu. Bersabarlah dan carilah kelebihanmu,” kata hati nuraniku.

Sejak saat itu, tumbuhlah semangat hidup dalam jiwaku. Akan aku buktikan bahwa perkiraan mereka salah terhadapku. Aku bisa lebih baik dari mereka. Tentunya, akan kulakukan karena Allah.

Pada saat akhir semester, semua guru harus mencari nilai untuk nilai rapot nanti. Di situlah kesempatanku untuk membuktikannya. Hari Rabu, jam pertama adalah jam olahraga. Guru olahraga kami tentu mencari nilai untuk hasil akhir semester nanti. Nilai pertama adalah nilai untuk lompat jauh. Beberapa temanku mengira aku pasti yang terburuk lompatannya. Tapi, itu tidak membuatku putus harapan. Saat giliranku, aku berusaha keras agar hasil lompatanku baik. Aku memulainya dengan ucapan basmalah, kemudian aku lari sekencang-kencangnya. Sampai di titik tumpuan, aku gunakan kaki kananku sebagai tumpuannya, aku mulai melompat sejauh mungkin aku bisa, dan alhamdulillah hasilnya cukup memuaskan. Dari semua murid perempuan sekelasku, aku yang paling pendek dan aku pula yang palih jauh lompatannya.
“Koe sing paling dhuwur malah kalah karo sing cendek kie piye?” ejek guruku pada Ari. Ari pun hanya tersenyum malu.

Nilai yang kedua adalah nilai untuk lari jarak jauh. Kami harus memutar lapangan yang sebesar lapangan sepak bola sebanyak 2 kali. Sebenarnya, aku sangat lemah jika harus lari. Maka, lari menjadi olahraga yang paling menjengkelkan bagiku. Tapi, karena dalam jiwaku sudah memiliki semangat yang berkobar-kobar, aku akan melakukannya sebaik mungkin. Dalam satu kelas, dibagi menjadi 2 kelompok, putra dan putri. Saat giliran putra selesai, giliran putri selanjutnya. Betapa tegangnya saat itu, mungkin aku akan menjadi yang terakhir. Tapi, kucoba menghapus pikiran itu. Seperti biasa kuawali dengan menghirup nafas dalam-dalam dan membaca basmalah. Prriiiiiiitttttt…… kami semua berlari. Aku berada di barisan belakang. Mereka begitu kencang larinya. Tapi sesaat kemudian, aku bisa mendahului mereka semua hingga di barisan depan. Akhirnya, akulah yang pertama kali masuk finish. Betapa senangnya hari itu, akhirnya aku bisa sedikit membuktikan kalau aku bisa lebih unggul dari mereka, walaupun setelah itu aku harus dibawa ke UKS karena aku kehabisan tenaga.

Akhir bulan Mei, pemerintah kabupaten beserta para guru kesenian tingkat SMA sekabupaten mengadakan pameran seni rupa. Setiap sekolah wajib menyumbangkan karya-karya dari siswanya. Saat itulah, banyak dari siswa di sekolahku yang ikut berpastisipasi, begitu pula denganku. Aku berniat ingin membuat sebuah lukisan.

Tiga minggu sebelum pameran diadakan, seorang teman sekelasku sudah membawa hasil karyanya, yaitu sebuah lukisan yang sangat indah. Lukisan pemandangan yang berukuran A4 itu tidak kalah indahnya dengan lukisan seniman terkenal. Aku begitu kagum melihatnya. Kekagumanku itu membuatku ingin tahu bagaimana cara menggores tinta yang benar.
“Kui nganggo kuas opo?” tanyaku padanya.
“Ngganggo kuas sing kasar, aku nek nganggo kuas sing alus malah ra iso, dadine elek.”
“Opo iyo toh? La trus carane nggambar piye?”
“Ho’o. Yo, aku mung asal wae. Langsung dicoret-coret, uwis dadi.”

Lalu, aku coba di rumah dengan kertas bekas. Aku coba dengan menggambar pepohonan. Warna hijau tua, hijau muda, hitam, dan coklat aku taruh di atas kertas hingga membentuk sebuah pohon. Sekilas, aku ragu melihatnya karena tidak nampak seperti pohon. Lalu, aku coba langsung dengan kertas ukuran A3 sebagai kertas yang akan gunakan untuk karyaku.

Dengan penuh kepastian, kumulai mengerjakannya. Kutarik nafas dalam-dalam, membaca basmalah dan pelan-pelan kugores tinta hijau dengan kuas halus. Hingga akhirnya, lukisan itu selesai dan tinggal dipajang di pameran nanti.

Dua hari setelah kami mengunjungi pameran tersebut, ada kabar bahwa lukisanku tergolong lukisan terbaik dan mendapat Penghargaan Pratita Adhi Karya. Aku benar-benar tidak menyangka akan keberhasilanku itu. Aku benar-benar sangat senang.

Pertengan bulan Juni, kami mengadakan tes akhir semester. Aku belajar sangat giat agar aku bisa memperoleh nilai rapot yang memuaskan. Tidak lupa, aku pun berdoa agar aku diberi kelancaran dan kemudahan dalam mengerjakan soal nanti. Seminggu setelah tes selesai merupakan hari penerimaan rapot. Sebelum orang tua diundang, pukul 07.00 WIB kami semua mengadakan upacara sebagai upacara penerimaan piagam murid berprestasi. Murid yang berprestasi nantinya akan dipanggil dan diberi piagam penghargaan dari kepala sekolah. Diawali dari kelas satu yang masuk dalam peringkat ke-10. Dalam hatiku berkata bahwa jika aku masuk peringkat kesepuluh pun, aku sangat bersyukur. Tapi, sayang bukan namaku yang dipanggil. Sampai akhirnya ke peringkat dua pun tak ada nama untuk diriku.

Kepala sekolah melanjutkan pengumuman untuk murid kelas satu yang menjuarai sebagai peringkat umum, Hatiku bergetar sangaaaaaaaat kencang. Lalu, beliau memanggil nama Noor Aini kelas IB sebagai juara umum. Sebagian hatiku tidak percaya. Lalu kulihat lagi dalam piagam itu dan benar, itu adalah namaku. Aku sangat gembira karena aku sudah membuktikan kepada mereka bahwa aku pun bisa melakukan sesuatu yang lebih baik dari mereka. Aku pun senang bisa membahagiakan kedua orang tuaku. Terima kasih Ya Allah. Engkau telah mengabulkan permohonanku. Kalau pun engkau menghendaki agar pendengaran hamba seperti ini selamanya, hamba akan terima dengan penuh ketulusan hati. Dua tahun kemudian, Allah berkehendak lain.

Sepulang sekolah, hari begitu cerah dan sangat panas. Tiba-tiba, aku merasa ada sesuatu yang masuk dalam telingaku. Aku mendengar suara gemerisik di dalamnya. Aku coba mengeluarkan benda itu, tapi tidak ada apapun. Setelah suara gemerisik itu hilang, subhanallah, aku bisa mendengar segala sesuatu dengan sangat jelas. Aku bisa mendengar kicauan burung, suara angin, dan pohon yang bergoyang. Aku menangis dan berterima kasih kepada Allah atas pemeberiannya tersebut. Alhamdulillah, hingga saat ini aku masih bisa mendengar dengan jelas.

Kemudian, aku membaca sebuah buku pinjaman perpustakaan sekolahku yang berjudul “Super Teenager : Bikin Remaja Biasa menjadi Ruarrr Biasaaa!!!” karya Fadlan El-Qossam. Buku itulah yang menginspirasiku untuk membuat karya ini dan yang menggugahku agar terus berjuang mencapai cita-cita, walaupun keadaan fisikku yang kurang sempurna. Kemudian, aku lihat kedua jari-jari tanganku, dan baru kusadari bahwa kelebihanku ada pada kekuranganku.

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More