Kamis, 13 Januari 2011

Persimpangan… Dimana Iman??

Oleh: Ika Andayaningsih

Selimut malam menggelayuti lamunanku. Entah berbintang ataupun tidak, aku tidak peduli. Hanya ada satu nama dalam benakku yang menjadikanku berpusat padanya. Malam yang begitu angkuh mengikatku pada aura kesunyian, sepi dan hanya kegelisahan akan sebuah perjalanan kehidupan. Para setan itu membisik padaku akan sebuah perjuangan yang sia-sia. Aku diam dan menangis dalam gelapnya malam. Dan ketika adikku datang, aku berfikir kalau dia juga merasakan hal yang sama

“udah sholat malam duw?” nafasku tersengal ketika melihat wajahnya yang juga menyembunyikan kesedihan yang sama
“assalamu’alaikum” seorang ibu asrama menghampiri kami yang terdiam didalam kamar ini
“mbak ika mbak dwi, udah sholat? Terus berdo’a buat kesembuhan bapak ya mbak,” aku terhenyak dan kemudian menangis, adikku yang melihat air mata ini ikut mengembunkan airmatanya

“mbak ika sama mbak dwi’ pengen bapak cepet sembuhkan? Insya allah bapak nggak kenapa-napa kog mbak, mumpung pertengahan malam, sekarang berdo’a aja yuk, semoga bapak cepet sembuh, ibu’ bantu do’a juga” antara tenang dan sedih, semua rasa bergelut dihatiku. Setelah malam berlalu, dan pagiku datang, akupun mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi disebrang sana dengan via telefon

“ibu’? bapak kenapa bu’?” detik pertama, aku masih mendengar suara ibu yang tersenyum
“bapak nggak kenapa-napa nak, kalau bisa, pagi ini pulang ya nak” pulang? Bagaimana dengan ulangan matematikaku?
“tapi bapak nggak kenapa-napakan bu’? ibu’ jangan bohong dong bu’..” aku terus mendesak ibu’, hingga aku merasa bersalah sendiri telah membuat bendungan air matanya pecah dengan isakan-isakan yang tak ingin ku dengar

“pagi ini pulang ya nak.. bapak koma dari tadi malam” sesaat bayanganku tentang sesuatu yang tidak pernah aku inginkan terjadi pada bapak itu melintas, menggandeng ketakutanku
“pagi ini ika sama dek dwi pulang bu’ ” dengan cepat ku tutup gagang telefon. Aku berlari menuju asrama dan bergegas pulang. Diperjalanan, aku, adikku dwi dan teman adikku dengan ditemani kedua ibu asramaku pergi menuju rumah sakit kariadi semarang. Tempat dimana ibuku duduk menemani bapakku yang terbaring koma dengan selang-selang pernafasan dimulut yang menyambung kejantungnya

“nak, ternyata bapak sudah dibawa pulang, mbak ika tahu jalan kerumahkan? Yaudah kalo gitu sekarang kita langsung kerumah mbak ika aja ya” aku mengangguk senang, ternyata bapak sudah dibawa pulang, sepanjang perjalanan aku hanya tersenyum, karena ku pikir, dokter tidak akan mengijinkan bapak pulang dalam kondisi parah. Namun tidak dengan adikku, aku melihat kegelisahan diwajahnya, apa mungkin dia tidak sependapat denganku tentang keadaan bapak? 08.43 tepat, kami sampai diperempatan menuju rumahku. Dari jauh kulihat terpal biru memayungi keramaian didepan rumah tetanggaku. Ketika aku keluar taxi aku baru sadar, ternyata terpal itu berdiri tepat didepan rumah kami

“bapak…” tangisku pecah sembari memanggil-manggil beliau, aku bingung dengan keadaanku saat itu. Adikku memelukku sambil berjalan, heranku, dia tidak sedikitpun meneteskan airmata dipipinya sepertiku. Dia terus menenangkanku hingga tubuhku jatuh kepelukan adik dari bapak. Aku, dek dwi dan dek indra adikku yang terakhir menangis dalam pelukan bulek. Kemudian saat aku masuk, kulihat pemilik jiwa yang tangguh itu terkulai lemas berselimut tebal disamping para tetanggaku. Tatapannya kosong memandangi kami. Hatiku semakin kacau ketika kulihat buliran-buliran bening itu mengalir dari wajahnya. Akupun dituntun berjalan menuju tempat bapak dibaringkan sebelum dimandikan dirumah. Semakin sempit aku berfikir tentang kehidupan ini. Aku hanya berfikir bagaimana bisa secepat ini? Walaupun dulu kami pernah percaya dengan vonis dokter tentang harapan hidup bapak yang tinggal sebentar ditujuh tahun yang lalu. Kini waktu-waktuku sudah tidak bisa lagi mendapat perhatiannya. Dipagi hari dengan menarik hidungku yang pesek ketika hendak berpamitan kesekolah. Dan aku tidak bisa lagi melihat rambutnya yang berantakan karena menemui tanggal tua. Aku tidak bisa lagi merasakan eratnya pelukan bapak ketika ketakutanku akan gelap menyelimuti. Dan kami tidak bisa melakukan apa yang biasa kami kerjakan bersama beliau. Kenangan yang menyenangkan itu tiba-tiba datang dan membuat dadaku sesak.

“bapak…” tak henti-hentinya aku menangisi pertemuan terakhir ini. Tapi masih tidak dengan adikku dwi, kulihat dengan syahdu dia mencium kening bapak. Aku ingin melakukan hal yang sama, namun semua telah ku kacaukan dengan air mata ini. Kusentuh wajahnya yang pucat kekuningan, senyumnya benar-benar menenangkan aku

“udah mbak jangan nangis, kasihan bapak… jangan bikin bapak berat untuk menghadapNya. Lihat wajah bapak, bapak tersenyum mbak… bapak kelihatan cakep dari biasanyakan?” aku mengangguk dan tetap menangisi akhir pertemuan ini.

Kini, empat tahun sudah ku jalani hidup tanpa seorang perkasa yang lembut dan penyayang. Aku kagum dengan ketangguhan ibuku, ingin ku warisi ketangguhan ibu seutuhnya. Kini, kamilah tempat ibu menyandarkan keluhnya. Karena beliau percaya, kami sudah dewasa untuk menyelesaikan sebuah masalah. Seminggu setelah bapak meninggal, aku harus melalui masa ujian akhir SMP. Dan dengan akhir yang maksimal, aku mendapatkan nilai minim yang maksimal, kelulusan telah aku genggam. Setidaknya aku bisa mengerjakannya sendiri, tanpa kerjasama dengan teman dan tanpa jawaban A B C D melalui sms. Dengan kelulusan dan ilmu akhlak yang bisa aku praktikkan, akhirnya ibu mempercayakan aku dan adik perempuanku dwi kesebuah sekolah berasrama diyogyakarta. Lama aku hidup dalam peraturan yang ketat dan mengekangku bersama teman-teman. Kreatifitasku tidak terbatas, namun telah dibatasi, dengan rasa tidak bersalah, aku dan teman-teman seperjuanganpun mencoba menerobos gerbang peraturan dan mendobraknya kencang. Kami menamai diri dengan generasi Non Vollare, yang berarti “Jangan Menyerah”. Beranggotakan 23 orang, 18 putri dan 5 putra. Kami adalah jiwa-jiwa pemilik kebebasan, namun dijalan yang terbaik tentunya. Kebebasan kami menghasilkan kekompakan dan keaktifan yang membanggakan bagi guru-guru yang tinggal diluar asrama.
Namun tidak dengan ibu asrama bahkan direktur asrama. Mereka justru merasa diinjak harga dirinya, karena baru kali ini sekelompok anak angkatan pertama tidak mengendahkan peraturan yang ada. Padahal yang ada dalam benak kami adalah kebenaran yang positif, dan dari kami untuk sekolah kami. Bahkan guru-guru yang berada diluar asramapun mendukung kegiatan kami. Meskipun ada beberapa tindakan kami yang tidak mereka setujui, tapi entahlah, nasihat guru-guru yang berada diluar asramalah yang justru kami endahkan, dari pada ibu asrama kami. Pernah suatu kali kami diikut sertakan dalam perkumpulan rohis sejogja. Baru beberapa kali kami mengikuti kegiatan ini. Tiba-tiba dari pihak asrama tidak memberikan izin keluar untuk kami. Kami bingung harus bagaimana, karena kami rasa ini suatu kegiatan positif dan tidak merugikan pihak asrama, maka kami meneruskannya dengan cara diam-diam, seperti masa dakwah nabi dimekkah gitu. Bahkan pernah kami kabur dari asrama ketika tidak diizinkan untuk menyemangati sahabat-sahabat kami yang akan bertanding diGOR UNY. Kami lakukan semuanya demi yayasan yang memberi kami segenap ilmu dan perhatiannya, namun cara kami sulit dianggap benar bagi mereka. Seringnya kami melanggar peraturan sampai hukuman pun tidak kami kerjakan. Ya, kami akui, keegoisan selalu membenarkan langkah kami ini. Tapi kami juga sadar dan mengakui setiap kesalahan kami yang parah. Pernah suatu kali beberapa dari kami membawa barang-barang elektronik. Kalaupun ada penyitaan, kami tahu dimana tempat yang aman untuk mengelabuhi penglihatan, dan kalaupun ada barang yang tersita, kami paham apa yang akan kami lakukan tanpa mengeluarkan biaya denda yang telah disepakati. Dan yang lebih parah adalah ‘dia’ pelapor dan penyita barang-barang kami adalah adikku sendiri, dek dwi yang bertanggung jawab sebagai sie keamanan. Entahlah, aku dan adikku benar-benar sangat berbeda, dari fisik sampai sifat kami. Dan perbedaan itu membuat kami tidak diakui sebagai saudara kandung oleh orang-orang yang telah mengenal kami

“mosok dwi adikmu ka? Nggak mungkin, tapi iya po, kog beda jauh??” sering kata-kata yang kurang lebih seperti itu membuatku tersenyum bangga dengan perbedaan ini
“inilah warna-warni keluargaku bu’, pak, mbak, mas, kalau satu keluarga sama rata sifat dan fisiknya, ntar nggak unik donk, kan saling melengkapi, iya nggak duw?” (aku memanggilnya duw karena sepertinya itu lebih simple dan jarang digunakan untuk nama dwi) tapi berbeda dengan tanggapan adikku
“iya ustadzah, ustadz, ukhti, akhi, mbak ika itu kakak saya kandung, tapi kami nggak beda jauh kok” selalu menyamakan dan meratakan
“tapi enggak ah wi’, kalian itu kaya langit dan bumi. Tapi kalau iya, kog kamu yang kelihatan kakaknya ya?” dan biasanya adikku yang satu itu hanya tersenyum, tidak seperti aku yang selalu menjawab pertanyaan-pertanyaan keheranan itu dengan logat sok-sokanku sambil memuji-muji adikku yang solihah dan membanding-bandingkan diriku yang sedang menuju solihah. Aku bangga punya adik yang sebegitu gigih memperjuangkan komitmennya dikehidupan yang mulia hanya untuk Allah, allah dan allah

“lha ka, kapan kamu nyusul adikmu?” aku hanya bisa cengar-cengir mendengar sindiran teman, guru dan orang terdekatku itu
“ckckck yang adik mana yang kakak mana” dan kata-kata inipun membuat kami pernah sepakat mengganti status kekeluargaan, aku Ika Andayaningsih akan menjadi Dwi Nur Rochaniyangsih, karena sepertinya itu akan lebih singkat menutupi perbedaan yang mencolok ini. Kadang aku bingung dengan sifat adikku yang sebegitu cintanya pada islam. Ketika dia mendengar berita mengenai palestina, dialah akhwat pertama yang akan menelusuri sampai ujung kebenaran berita itu. Sampai ketika aku tanya cowok tipenya seperti apa, dia dengan yakin namun sedikit malu menjawab
“insya allah yang setampan akhlaknya syekh-syekh Palestine mbak, yang benar-benar paham agama islam” subhanallah, sedangkan aku sendiri kalau ditanya seperti aku memberikan pertanyaan pada adikku, aku akan menjawab
“yang penting solih tapi tetep ada funkinya dong” hahaha, itulah sedikit dari banyak perbedaan kami. Saat aku bertanya sejak kapan dia cinta palestina sampai membuatnya berubah drastis, dia menjawab

“sejak aku mendengar kata ‘jihad’, berubah drastis?? Tidak…hanya hari-hariku menjadi lebih terisi” begitulah ungkapnya yang membuatku terus berdecak kagum. Namun kalau diperhatikan, sejak setelah bapak sakit, dia sudah menunjukkan perubahan sikap, sifat dan lain sebagainya. Tapi yang pasti, kecintaannya pada palestina membuat ibu kami bangga, hanya saja, kami tidak pernah menginginkannya menjadi fanatikisme dengan palestina. Karena ketakutan kami akan terorisme seperti manusia normal lainnya. Dan adikku dwi selalu meyakinkan kami akan ketidak warasan seorang teroris
“pendapatmu tentang teroris Indonesia yang menamakan dirinya jihad fisabilillah?” tanyaku melalui pesan singkat
“ini hanya menurut ane, cara seperti di Indonesia, tidak dapat mengaplikasikan makna jihad yang sesungguhnya, Allah ‘azza wa jalla memerintahkan kita untuk memerangi kaum kufar yang memerangi duluan, dan tidak boleh berlebihan. Jihad perang dalam islam itu ada aturannya, tidak asal memerangi siapa saja yang kafir. Tanpa pandang umur, wanita dan orang lemah, allahua’lam” aku hanya manggut-manggut membaca balasan sms darinya. Dulu pernah diusia 15 tahun, terbesit dalam niatku untuk terlibat dalam jihad di palestina. Memerangi kaum zionis dan menenggelamkan diri dilautan harum kasturi. Namun entah, waktu yang menggandengku kemasa SMA sampai kuliah ini perlahan mengikis niat itu dan membungkusnya dengan kain kafan, hingga tak ku temukan digundukan mana niatku dulu terkubur. Ketenangan itu menghilang, saat aku bisa merasakan aroma wangi dunia remaja.

Di masa ini aku selalu sadar akan kesalahan-kesalahanku, namun begitu sulit ku kendalikan jiwa ragaku yang ingin berubah. Aku terus mencari cara untuk menggali gundukan yang mengubur akhlak yang kini adikku miliki. Mungkinkah gundukan itu telah dia curi dari ketidak tahuanku? Ada satu buku yang membuatku terus bertanya “untuk Muslimah yang Tak Pernah Lelah Berdakwah” karya Rochma Yulika dan Umar Hidayat terbitan uswah. Untuk muslimah yang tak pernah lelah berdakwah… mungkinkah aku bisa berada diantara mereka? Menjadi sosok aktifis dakwah yang menyejukkan. Sedangkan aku hanya menjadi perindu syurga tanpa ada usaha membeli tiketnya, bagaimana bisa? Ingin ku ambil satu buku itu, namun entahlah, niat itu tidak terlalu menarikku untuk memilikinya. Masih dengan kehidupan yang sama dengan semangat yang naik turun. Tak ku temukan siapapun yang membuatku bisa bangkit dalam semangat islam yang seperti dulu. Hanya kebebasan yang ku inginkan, menyatu dengan alam… adalah pilihanku saat ini.

Kadang aku ill feel dengan aktifis-aktifis yang di tengah perjalanan dakwahnya menikah dan meninggalkan dakwah yang sudah separo jalan itu. Banyaknya realita yang ku temui ini, akhirnya ku putuskan untuk menjadi diriku yang hanya mempan diatur dengan logikaku. Aku dan alam… aku dan alam… aku dan alam… ku pikir, dari alam sajalah aku belajar memaknai kehidupan, dari alam sajalah aku akan merasa lebih semangat memaknai kehidupan, dan dari alam sajalah aku dapat menerima aturan Tuhan. Dipersimpangan dalam mencari jati diriku ini, lagi-lagi Tuhan menuntunku lewat buku yang pernah aku lihat ‘untuk muslimah yang tak pernah lelah berdakwah’ ya Tuhan… inikah caraMu menuntuku menemukan jawaban ketidak warasanku bersama alam? Kupinjam buku itu dari mbak kosku.

“wah kalo ini mah buku buat mbak-mbake, bukan ikae” aku tersenyum malu, merasa belum bisa berdakwah dan di dakwahi
“itukan buku untuk semua muslimah ika, kamu merasa muslimah bukan? Udah…dibaca aja dulu” akhirnya dengan penasaran ku buka perlembar demi lembaran. Ku temukan secarik kalimat yang membuatku merasa bisa melakukannya. 
“Setiap gerak-gerik seorang daiyah merupakan pesan dakwah. Dari mulai cara berpenampilan, cara berbicara, cara melihat, cara mendengar, mengontrol emosi hingga ekspresi wajah” sepertinya aku pernah melakukan hal-hal itu dan disaksikan orang banyak. Aku rasa, aku sudah pernah berdakwah, biarpun tidak sadar. Namun pada halaman lain aku membaca
“sungguh, dakwah ini pekerjaan yang besar dengan modal yang besar pula” aku diam sejenak dan berfikir, lebih baik didakwahi dari pada mendakwahi. Kenapa secara tidak langsung dia bilang sulit? Aku belum bisa memaknai arti dakwah dengan ini. Kulanjutkan lembaran-lembaran yang lain. Kutemukan lagi kata-kata dalam kotakan yang mengatakan
“Akhlak merupakan indikator yang paling mudah untuk menilai secara langsung apakah para Muslimah dakwah berhasil ataukah tidak dalam mengemban misi dakwah” lagi-lagi aku teringat adikku. Apakah dia sosok aktifis dakwah yang Tuhan kirimkan untuk ku jadikan contoh? kenapa setelah aku siap menerima tantangan yang lebih dahsyat, justru jiwaku semakin sempit menerima kenyataan yang ada. Lagi-lagi aku bilang bahwa aku sadar akan diriku yang jarang meng-iya-kan nasihat ibu.

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More