Rabu, 05 Januari 2011

Nyoba Buat Ikutan Lomba,,Semoga Menang,,hehehe :)…


Oleh: Wuri Nuryani

Pada saat itu saya sering berkunjung ke Perpustakaan Umum di daerah saya untuk meminjam novel. Tanpa sengaja saya mengambil sebuah novel yang berjudul ”bulan tak purnama” karya Ahmad Basri Afandi. Alasan utama saya mengambil novel itu karena bentuknya yang kecil dan bukunya yang tidak begitu tebal. Dengan begitu pasti saya akan cepat selesai membacanya dan hikmahnya pun akan cepat saya peroleh. Selain itu saya juga tertarik dengan desain sampulnya. Terkesan berbeda dengan novel-novel pada umumnya. Judul yang dipilih juga terkesan janggal, sehingga justru membuat saya semakin tertarik untuk mengetahui isi di dalamnya.

Novel ini menceritakan tentang seorang remaja perempuan bernama Aisya yang mempunyai seorang kakak satu-satunya, Mas Hasan. Aisya gadis kelahiran kota Bengkulu, sangat disayang oleh Mas Hasan. Sejak kecil mereka sering bermain bersama. Mas Hasan bercita-cita untuk bersekolah di Jawa. Impian itu terwujud setelah ia dapat diterima di Universitas Gadjah Mada. Selang beberapa lama kemudian Aisya dapat memenuhi keinginan Mas Hasan untuk menyusulnya bersekolah di Jawa. Mereka tinggal disebuah rumah di Jogja, milik Mas Hasan. Saat itu Mas Hasan telah menyelesaikan kuliah S1-nya dan telah bekerja.

Sejak awal kuliah, Aisya bergabung dengan aktivis lembaga dakwah di kampusnya, UGM. Hingga suatu ketika ia dikenalkan kepada Dani oleh Rais, temannya di aktivis itu. Dani beralasan kepada Rais jika dirinya ingin segera menikah. Akan tetapi ternyata hubungan perkenalan itu justru berlanjut menjadi sebuah hubungan “pacaran”. Padahal saat itu Aisya sama sekali belum diperbolehkan oleh Mas Hasan untuk berpacaran. Bahkan mereka berdua, Aisya dan Dani menjalani hubungan itu secara backstreet baik dari orangtua Aisya, Mas Dani, teman-teman mereka ataupun Rais sendiri.

Sejak hubungan itu berlangsung, mereka mulai merasa tidak nyaman. Dengan alasan untuk menghindari dosa, mereka memeberanikan diri untuk meminta izin menikah kepada Mas Hasan. Mas Hasan merasa kecewa dengan tindakan Aisya. Sebenarnya Mas Hasan tidak melarang mereka untuk menikah. Tetapi menurut dirinya, Aisya dan Dani sama sekali belum siap untuk sebuah pernikahan. Apalagi mereka berdua masih sama-sama kuliah dan tidak ada satupun pemasukan yang dapat diandalkan dari mereka berdua. Mas Hasan menghendaki agar mereka memutuskan hubungan itu dan mulai serius dengan kuliah masing-masing.

Berat memang perpisahan yang harus mereka alami itu, karena mereka berdua saling menyayangi. Sejak saat itu mereka mulai serius menekuni kegiatan masing-masing. Tak lama setelah perpisahan itu, Aisya bergabung dengan salah satu aktivis pendongeng cerita anak-anak dan Dani bekerja di salah satu surat kabar di Jakarta. Kesibukan tesebut memaksa mereka untuk tidak dapat bertemu kembali. Hanya sebuah surat tanda perpisahan yang terakhir kali mereka saling tukar.

Setelah berpisah, sepertinya kehidupan mereka berdua tampak jauh lebih baik. Dani akan segera diwisuda. Namun sayang, beberapa minggu sebelum diwisuda Ibunda Dani meninggal dunia. Bahkan Dani sama sekali tidak dapat melihat wajah Ibundanya untuk terakhir kalinya, karena saat itu ia sedang terjebak dalam sebuah kemacetan ketika hendak pulang dari Jakarta menuju rumahnya. Sedangkan jenazah Ibundanya harus segera dimakamkan. Akhirnya Dani memutuskan untuk merelakan pertemuan terakhirnya dengan jenazah Ibundanya itu.

Beberapa saat sebelum Ibundanya meninggal, Dani sempat bermimpi bertemu dengan Ibundanya yang meminta agar dirinya menikah dengan Aisya, karena Aisya sangat membutuhkan Dani. Entah karena apa, saat itu Dani melihat Aisya sedang meminta tolong kepadanya dan Ibundanya sangat berharap Danilah yang membantu Aisya.

Suatu hari Aisya mengalami kecelakaan ketika ia dan rombongan para pendongeng hendak pulang dari salah satu kegiatan di luar kota. Kaki Aisya terjepit pada salah satu bagian bus dan terpaksa harus diamputasi untuk kaki kirinya. Aisya merasa dirinya tidak lagi menjadi seorang wanita yang sempurna karena dia telah cacat.

Dani yang mengetahui hal itu dari Rais, segera bergegas menjenguk Aisya. Padahal saat itu adalah hari dimana Dani menjalani wisudanya. Melihat keadaan Aisya, Dani merasa sangat kasihan sekali. Perasaan memang tidak bisa dibohongi. Dani memang masih mencintai Aisya. Dia telah memutuskan utnuk menerima Aisya apa adanya. Akhirnya mereka berdua menikah setelah mendapat restu dari keluarga. Mas Hasan bahkan sangat mendukung karena saat itu memang keadaannya telah jauh berbeda. Mereka telah siap untuk sebuah hubungan pernikahan yang halal.

Akhirnya mereka hidup dalam sebuah keluarga yang bahagia. Dani membawa Aisya tinggal bersamanya di Jakarta. Hampir setiap kebutuhan Aisya, Dani selalu memberikan yang terbaik. Seperti kata Mas Hasan,,”Jika memang berjodoh, pasti suatu saat Allah akan mempertemukan. Bagaimanapun keadannya”. :) :) :)

HIKMAH:
Saya memilih novel ini bukan karena saya mengalami kisah seperti dalam cerita di novel ini. Tapi hal ini dikarenakan setelah membaca novel ini, saya teringat akan sosok kakak saya yang begitu menyayangi saya.,,, :)

Hampir empat kali sudah saya membaca novel ini, dan selalu saya rasakan keharuan. Apalagi dengan tokoh Mas Hasan dan Dani. Mereka berdua menurut saya adalah sosok seorang pemuda dewasa yang luar biasa. Dani, Ramdhani Habibi. Seorang pemuda yang akhirnya tumbuh menjadi seorang pria dewasa dengan kebaikan hatinya. Sebagai anak semata wayang dalam keluarganya, ia menyadari betapa besar tanggup jawabnya dalam keluarganya.

Meskipun ia pernah melakukan sebuah kesalahan kecil dengan menjalin sebuah hubungan pacaran bersama Aisya, tetapi ia bersedia untuk belajar menjadi manusia yang lebih baik. Dani kembali membangun hari-harinya dengan semangat baru meski tanpa Aisya. Satu hal yang amat saya kagumi dari seorang Dani adalah saat ia memutuskan untuk mengikhlaskan jenazah Ibundanya segera dimakamkan meski tanpa kehadiran dirinya. Menurut saya, dibutuhkan ketabahan hati dalam memutuskan hal itu. Apalagi saat itu Dani hanya memiliki sosok Ibundanya dalam hidupnya.

Hal luar biasa yang amat menginspirasi saya yakni saat Dani berbesar hati menerima kenyataan keadaan Aisya. Sebuah keputusan yang hebat untuk menikahi seorang perempuan yang keadannya seperti Aisya. Apalagi mereka telah lama terpisah oleh jarak, ruang dan waktu. Dibutuhkan sebuah kesetiaan untuk menjalani itu semua. Atas dasar rasa cintanya kepada Aisya, Dani rela mengupayakan banyak hal demi membuat Aisya merasa nyaman bersamanya. Subbhanallah,,,. :)

Sebenarnya dari keseluruhan cerita dalam novel ini, ada seorang tokoh yang amat sangat saya kagumi, yakni Mas Hasan. Mas Hasan mengingatkan kepada saya tentang kakak kandung saya. Saudara yang saya miliki satu-satunya, Mas Eko. Kami hanya dua bersaudara. Sejak kecil kami tinggal bersama dengan Bapak dan Ibu. Seperti kebanyakan anak-anak pada umumnya, kami sering sekali berantem hanya karena masalah sepele, berebutan jajan J. Ya itulah anak-anak. Kebetulan selisih usia kami tujuh tahun. Usia yang cukup membuat kakak saya itu merasa menjadi anak tunggal sebelum kehadiran saya,,hehe.. :)

Masih saya ingat benar, saat itu saya sering menangis karena tidak pernah diajak bermain oleh kakak saya. Ia lebih senang mengajak temannya. Mungkin itu karena ia anak laki-laki, gengsi kalau mau ngajak adiknya,,hehe... :)

Mas Eko lulus SMA saat saya masih duduk di kelas IX SMP. Setelah lulus, Mas Eko ingin mendaftarkan diri menjadi salah seorang anggota ABRI. Saya menyaksikan sendiri bagaimana perjuangannya. Beralatih ddan terus berlatih tiap hari, berlari di siang hari yang panas, berpuasa demi menurunkan berat badan, berenang berkali-kali, dan perjuangan lainnya. Berulang kali terpaksa ia harus mengalami kegagalan. Tapi tak sedikitpun saya jumpai raut wajah kekecewaan pada dirinya. Hingga akhirnya Allah mengijinkan kakak saya menjadi salah seorang anggota TNI-AD. Alhamdulillah,,,selamat ya Mas.. :)

Beberapa bulan kemudian seperti prajurit-prajurit baru TNI lainnya, Mas Eko diwajibkan mengikuti rangkaian pendidikan di Kota Gombong. Hampir dua bulan ia tidak diperbolehkan berhubungan dengan dunia luar. Mungkin segala konsekuensi telah difikirkan Mas Eko dengan masak-masak. Sebuah cita-cita yang mulia demi bangsa dan negara.

Hingga suatu ketika Ibu mengalami sakit yang memaksa beliau harus opname di rumah sakit. Kekawatiran Ibu akan keadaan Mas Eko dan rasa kangen beliau akan anak laki-laki satu-satunya itu membuat Ibu mengalami sedikit gangguan pernafasan akut. Mungkin saat itu Ibu benar-benar ingin Mas Eko ada di sampingnya. Kami keluarga telah mengusahakan banyak hal, tapi Mas Eko telah terikat dengan konsekuensi yang ada. (Padahal saat itu saya akan menempuh UNAS SMP. Berhari-hari saya terpaksa harus tinggal sendirian di rumah, belajar mengurus diri sendiri karena Bapak harus merawat Ibu di rumah sakit. Saya bertekad untuk memberikan nilai UNAS yang terbaik demi Ibu saya. Alhamdulillah saya mendapat nilai 28 untuk tiga mata pelajaran J). Akhirnya kami memutuskan untuk membuat tenang Ibu bahwa semuanya akan baik-baik saja. Termasuk dengan keadaan Mas Eko. Alhamdulilllah,, keadaan Ibu membaik dan beliau diperbolehkan untuk pulang ke rumah.

Beberapa minggu setelah peristiwa Gempa Bumi Jogja, 26 Mei 2006, Mas Eko telah menyelesaikan rangkaian pendidikannya. Betapa kagetnya ketika tiba di rumah, rumahnya telah hancur. Tapi wasyukurillah,, keluarga kami semuanya selamat dan rasa kangen Ibu dapat terobati dengan kepulangan Mas Eko. Meskipun saat itu kami tidak mempunyai rumah, tapi kami merasa bahagia karena dapat berkumpul dalam sebuah keluarga yang lengkap.

Saya merasakan kini kakak saya telah tumbuh menjadi seorang laki-laki dewasa. Seorang kakak yang tidak lagi menjaili saya atupun sengaja membuat saya menangis karena berebutan jajan. Bahkan setiap pulang ke rumah, kini Mas Eko lebih senang mengajak saya jalan-jalan.,,hehehe.. J Ia telah mengajarkan kepada saya bagaimana sebuah perjuangan, bagaimana berkorban untuk sebuah tanggung jawab. Wuri sayang Mas Eko,,,,,.. :)

Sekarang Mas Eko bertugas di Jakarta. Jarang sekali ia bisa pulang ke rumah. Mungkin enam bulan sekali atau bahkan satu tahun sekali. Itulah konsekuensi yang harus ia tanggung demi negara. Semangat Mas,,, :)

Pernah saya mengalami cobaan yang saya rasa begitu berat. Mungkin saat ini saya tidak dapat menjadi perempuan setegar ini tanpa semangat dari Bapak dan Ibu. Terlebih dari Mas Eko. Ia adalah semangat terbesar saya dalam menjalani hidup ini. Meskipun kecewa, tapi tidak sedikitpun Mas Eko memarahi saya apalagi sampai membuat saya menangis. Justru ia merasa jika saya mengalami cobaan itu karena ia tidak bisa memberikan fasilitas terbaik untuk saya. Saya jawab “tidak sama sekali”. Mungkin Allah punya rencana yang jauh lebih indah untuk kami. Maafin adikmu ini Mas,,, :(

Pernah Mas Eko berkata kepada saya dan masih saya ingat sampai saat ini. “Jangan jadi cewek pengecut dek. Mungkin sekarang kamu sedang jatuh. Tapi ingat. Kamu punya kelebihan yang mungkin tidak dimiliki oleh orang lain”.. Sejak Bapak pensiun, semua beaya sekolah ditanggung oleh Mas Eko. Bisa dikatakan semuanya. Setelah berjuang keras, alhamdulillah saya dapat diterima di UGM, Teknik Pertanian. Bersyukur karena setidaknya saya bisa membuktikan kepada diri saya sendiri kalau saya bukan perempuan pengecut yang terus berputus asa. Sedikti saya bisa mengobati kekecewaan Bapak, Ibu dan Mas Eko. Maafin Wuri ya,,, :)

Sejak saat itu saya mulai merasakan hidup saya banyak berubah. Saya bisa merasakan betapa besar rasa sayang Mas Eko untuk saya. Bisa saya katakan hampir semuanya telah dikorbankan Mas eko untuk saya. Seperti dalam novel ini. Pada halaman 92 “Semua aku lakukan juga untukmu. Kakak melajang sampai hari ini untuk siapa? Untuk kau, adikku. Aku harus banting tulang menghidupimu  lalu kutangguhkan keinginanku.”

Terimakasih untuk Mas Eko yang telah begitu menyayangi saya. Terimakasih untuk semua pengorbanan Mas. Terimakasih karena Mas telah bersabar membimbing Wuri, mengajarkan kepada Wuri tentang hidup. Wuri selalu berdoa supaya Mas mendapatkan pendamping sebaik Mas, sebaik hati Mas. Semoga suatu saat nanti Wuri bisa membalas semua kasih sayang Mas. Semoga suatu saat Wuri bisa menjadi wanita yang berguna bagi semua. Terutama bagi Bapak, Ibu dan Mas Eko. Amin Ya Rabb... :)

“Wuri ingin terus seperti ini. Sebahagia ini dengan seluruh kasih sayang dari Mas Eko..” J..

INDAHNYA BULAN TAK PURNAMA
“Perumpamaan orang mukmin, jika salah satu bagian tubuhnya sakit maka anggota tubuh yang lain akan ikut merasakan.” (HR. Bukhari Muslim)

Yang tercinta, bulan tak purnama
Kan kusangga cahayamu dengan raga
Usah sedih rindukan mentari
Sebab aku selalu mencintai

Akupun bumi tak sempurna
Terlalu bijakjangan kau sangka
Yang termulut sekedar upaya
Mencintaimu dengan segenapnya
(bulan tak purnama, karya Ahmad Basri Afandi


0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More