Senin, 10 Januari 2011

Separuh Hati Yang Terluka

Oleh: Annisa Mutohharoh

“Jika aku kehilangan sesuatu,Aku tidak akan berusaha untuk mendapatkannya kembali,Tapi aku akan mencari penggantinya yang lebih baikKarena aku tahuSelalu ada yang lebih baik.”

Seulas senyumnya kini amat bermakna bagiku. Seolah senyumanya itu hanya ingin ditujukkannya padaku. Walaupun pada kenyataannya, diriku pun tak mampu memahami apa makna dari senyumannya tadi. Kehidupan ini berubah seakan dunia sedang berpihak padaku. Sang mentari memancarkan sinarnya untukku. Karena pada saat ini ruang kosong di hatiku telah terisi. Kehampaan dan kesunyian meninggalkanku yang sekarang tengah direngkuh oleh rasa bahagia.

Aku hanya seorang gadis remaja yang terjebak cinta pada seorang lelaki sholeh, ustadz (guru)ku sendiri. Anehnya rasa itu seolah sangat kuat mendorongku, meyakinkanku bahwa dia memanglah jodoh untukku, seseorang yag telah dipersiapkan oleh Allah yang selama ini kutunggu. Setiap kali aku bertemu dengannya, tanpa sengaja mata kami saling bertatapan Buru-buru kualihkan pandanganku pada sesuatu yang lain, bukan karena aku ingin membohongi hatiku, hanya saja rasa itu selalu bergejolak dan membuatku semakin lama dan semakin malu.

Beginilah kehidupan di pesantren, kami tidak bertindak sesuatu selalu seperti yang kami inginkan karena di sini kami beljar bagaimana menahan nafsu, belajar bagaimana memahami hidup dan yang pasti belajar bagaimana bersikap sesuai dengan norma dan nilai agama kami, yaitu islam. Karena itu aku hanya bisa menyembunyikan hatiku, menyimpan perasaan ini sampai pada saatnya memang harus terungkap.

“Ehm, Tiara, pacarku apa kabarnya nih? Lagi ngapain sayang?” sebuah suara mengagetkanku yang tengah bercengkrama dengan teman-temanku.
“Eh, pa Rizal, kirain siapa. Yha emang keliyatannya gimana pa’?” jawabku sambil tersenyum.
“Lagi ngapain nih? Ko’ ngobrol ga ngajak-ngajak aku sih?”
“Eh, pa, ko’ malah jadi ngobrol di sini yha?! Saya permisi ya pa’ amu masuk kelas duluan.” Ucapku mengakhiri perbincangan kami karena merasa ga nyaman dengan situasi seperti ini.
“Oh, iya, iya, selamat mengaji yha sayang, jangan inget aku terus yha?!” ucapnya sambil bercanda membuatku semakin malu. Buru-buru kualihkan pandanganku dan segera masuk ke kelas agar tidak tertangkap basah olehnya dengan mukaku yang sekarang mulai memerah.

Selalu saja seperti itu, ketika kami bertemu. Ia membuat harapanku berjalan sampai puncak seolah aku memang akan mendapatkan harapan itu, padahal perlahan aku mulai mundur sebelum aku jatuh dan tersungkur dan merasa kesakitan pada akhirnya.

“Ya Allah yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang, Yang Maha Berkuasa Segalanya. Aku memohon padaMu agar Kau selalu menjaga hatiku dari perasaan yag sekarang membelengguku. Karena aku tak pernah tahu apakah dia memang jodohku. Karena aku tak pernah tahu apakah dia memang yang terbaik untukku atau bukan. Dan hanya Kau yang Maha Tahu Segalanya yang mampu membolak-balikkan hati makhlukNya. Jika memang dia jodohku dan Engkau meridhoi perasaan ini melekat di hatiku. Hamba mohon dekatkan dia padaku dan jaga hati ini agar tak pernah berpaling dariMu. Tetapi, jika dia memang bukan jodhku dan Engkau tak meridhoi perasaan ini bersarang di hatiku, hamba mohon jauhkanlah dia dariku dan hilangkan perasaan ini sebelum hamba terbuai dan semakin rapuh karenanya. Hanya engkau yang bisa membantu hamba dan tempat meminta.” Amiiiiinnnn . . . . .

Hatiku merasa tentram dan merasa nyaman setelah memanjatkan do’a itu. Karena aku menyerahkan semua yang akan terjadi dan terbaik untukku sepenuhnya hanya kepada-Nya.

“Rara, kamu sudah denger belum?” Tanya Dinda saat kami pulang mengaji.
“Emang kabar apaan?” tanyaku penasaran.
“Kabar tentang pa’ Rizal tuh? Masa kamu ga tahu sih? Kamu kan deket ma pa’ Rizal. Emang pa’ Rizal ga ngasih tahu kamu yha?”
“Apaan sih Din? Kamu bikin aku jadi penasaran aja.”
“Pa’ Rizal kan bulan depan mau nikah Ra. katanya sih calon istrinya itu bukan santtri loh!”
“Oh yha?! Kamu kata siapa?” tanyaku kaget sekaligus berusaha untuk menutupi rasa sakit karena mendengar kabar ini.
“Aku juga kata temen-temen sih. Tapi kayanya emang bener deh. Kan dah lama pa’ Rizal ga keliyatan di sekitar pesantren.” Ucap Dinda menguatkan kabar itu.
“Kenapa pa Rizal mau yha? Padahal kan masih banyak alumni santri. Kaya aku gitu contohnya.” Imbuhnya lagi sambil tertawa sendiri dan berbicara panjang lebar.

Sementara aku hanya terdiam. Bukan karena aku sedang menyimak ocehan Dinda, tapi aku sedang berbicara dengan hatiku sendiri, berusaha menguatkan hati ini yang mulai remuk.
“Benarkah itu? Benarkah itu?” hanya kalimat itu yang sekarang menari-nari di otakku seolah bersikeras tak ingin mempercayai kabar itu.
“Ra, kamu kenapa? Ngelamun yha?” Tanya Dinda mengagetkanku.
“Eh, ga. Eh, iya. Aku……” ucapku salah tingkah.
“wahhh…kamu beneran ngelamun yha? Emang ngelamunin apaan sih?”
“Eh…itu..Eh…anu..aku lagi mikir aja, emang pa’ Rizal bakalan mau sama kamu gitu?” jawabku mencari alasan untuk menyembunyikan perasaan ini.
“Wah, dasar yha. Kirain tuh lagi ngelamunin apa.” Ucap Dinda sambil tertawa-tawa karena mnganggap omongan tadi cumin bercanda.

Sebulan berlalu……
Entahlah….aku tak mengerti dengan perasaanku sekarang. Tapi yang pasti aku bisa menghadapi semuanya, dan aku memang harus menerima karena ini adalah jawaban dari setiap do’a yang aku panjatkan. Mungkin memang dia bukan jodohku, tapi aku yakin ada lelaki sholeh lain yang sudah dipersiapkan oleh Allah untukku. Seperti seorang Dey dalam bukunya “Azzura Dayana” yang berjudul “Birunya Langit Cinta”. Ia mendapatkan jodoh yang memang terbaik untuknya dan hidupnya. Maka akupun akan seperti itu, mendapatkan jodoh yang memang terbaik untukku.

Aku menghadiri undangan dari Pa Rizal sebagai tanda bahwa aku menghormatinya dan turut berbahagia atas pernikahannya itu.
“Selamat menempuh hidup baru yha Pa?! semoga diridhoi oleh Allah dan menjadi keluarga yang sakinah, mawaddah warahmah.” Ucapku saat kami bertemu.
“Makasih yha Tiara.” Jawabannya tersenyum.
Akupun membalas senyumannya itu walaupun mungkin sedikit terpaksa karena belum mampu melupakan dia sepenuhnya.

Kulalui hari-hariku seperti biasa. Melupakan kejadian kemarin yang sempat membuatku rapuh. Dan sekarang aku sudah kuat lagi berdiri menghadapi kehidupan ini. Aku tak ingin lama-lama terpuruk dalam kesedihan yang hanya akan membuatku hancur. Aku juga tak ingin masalah ini mematahkan semangatku untuk belajar dan menggapai ciat-citaku di masa depan. Semuanya akan aku jadikan pelajaran dalm melangkah menuju masa depan.

Akhirnya tahun terus berganti, tanpa terasa aku sudah merampungkan studiku di SMA dan pesantren. Setelah ini, aku akan belajar dan menikmati suasana baru di bangku perkuliahan.

Lama tak ada kabar, lama tak bertemu, lama tak bertegur sapa. Bertahun-tahun pun berlalu. Sekarang aku adalah gadis remaja yang akan menginjak dewasa, bukan lagi gadis kecil berusia 15 tahun. Umurku sekarang sudah 19 tahun dan sudah lebih siap menghadapi tantangan kehidupan.

Tanpa aku inginkan dan tanpa aku cari, akhirnya kabar itu sampai ke telingaku juga. Pa “Rizal sudah bercerai.” Sempat terbersit rasa bahagia dan harapan ketika mendengar kabar itu. Tapi, tidak. Aku bukan makhluk egois yang ingin merasakan kebahagiian atas penderitaan orang lain. Aku bukan lagi anak kecil. Sekarang sudah mulai dewasa dan harus berani mengambil sikap apapun resikonya.

Ini hanya sebuah cobaan, Allah hanya ingin mengujiku apakah aku akan mundur dan masuk ke dalam kisahku dulu ataukah aku akan tetap berjalan ke depan dan menjadikan masa lalu hanya sebagai pelajaran.

Kini aku yakin dengan hatiku dan hidupku. Aku harus tetap focus belajar, jangan memikirkan masalah yang tak penting jika itu hanya akan menjadikan beban pikiranku saja. Aku berharap dan berdo’a semoga pa’ Rizal mendapatkan penggantinya yang lebih baik, siapaun itu.

Rasa itu hanya sesaat.
Dan tak akan pernah tumbuh lagi di hatiku.
Karena sekarang
Yang ada hanyalah rasa simpati.

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More