Rabu, 12 Januari 2011

Kontemplasi Senja

Oleh: Astri Aprilia

Dari dulu, aku menyukai senja hari. Terutama dengan semburat kemerahannya yang menerobos masuk melalui celah-celah jendela. Sembari terpaku, masih dengan mengenakan mukena, menikmati pesonanya usai melantunkan Al-Ma’tsurat. Berbeda dengan dini hari, saat-saat inspiratif bagi jiwa, saat-saat senja merupakan saat-saat kontemplatif memahami hal-hal yang seharian telah menumpuk di hati. Berdialog dengan ruh. Beristighfar atas segala kesalahan yang sadar atau tidak kita sadari selama seharian kita beraktivitas di luar. Dulu ketika masih berstatus mahasiswa, aku paling bersemangat menunaikan Ashar berjama’ah dengan saudari-saudariku sesama penghuni kost lainnya. Bila tak ada kegiatan kemahasiswaan, rapat, atau mengikuti lingkaran malaikat, aktivitasku berhenti sesaat menjelang waktu Ashar.

Dalam kepenatan tubuh, kelelahan fisik, apalagi kalau musim kemarau tiba (kebetulan kota tempat kuliahku dulu menawarkan suasana panas yang menyengat dan debu yang menghitamkan kulit, bila dibandingkan dengan daerah-daerah lain di sekitarnya), menginjakkan kaki kembali ke tempat kost adalah hal yang melegakan.  Saat kakiku bersentuhan dengan lantai keramiknya yang dingin dan bersih, ada semacam ketenangan yang tiba-tiba mengaliri ubun-ubun. Sebelum masuk ke dalam kamar, biasanya aku dan para penghuni kost lainnya akan merebahkan diri terlebih dahulu di ruang tengah. Adem… Bu Iroh selalu membuat ruangan itu tampak bersih, rapi, dan wangi, meski ribuan kali kami membuatnya berantakan.

Tak lama, biasanya suara adzan mulai menggema. Aku seolah memiliki semangat yang sama untuk beranjak dan menunaikan Ashar berjama’ah. Kami menunaikan shalat di ruang tengah yang terbuka, menghadap ke sebuah taman yang hijau dan rimbun. Bougenville yang berwarna keunguan, atau Gladiol dengan warna putihnya yang anggun. Taman mungil itu menjadi penyejuk hati kami. Satu dari sekian hal yang membuat kami tak putus bergumam Subhanallah…

Dan saat-saat senja itulah yang membuatku selalu ingin melakukan ‘jeda’ usai Ashar. Berkontemplasi dengan Ia pemilik semua ketenangan. Mungkin hal yang sangat sederhana, tetapi saat-saat itu selalu kuingat. Dimana pun, bila senja menyapa, ku merasa de javu dengan tingkat keimanan terbaik yang kurasa pernah kumiliki saat itu.

Setelah bekerja, perasaan itu masih ada. Beberapa orang tertaut pada keindahan pelangi. Sebagian pada kesyahduan langit sesaat setelah hujan. Aku terpikat pada saat-saat senja di langit dunia. Kadang bisa membuatku menangis tanpa sebab. Ada ketenangan. Sesuatu yang membuat kita merasa sangat nyaman. Feels like home…

Bila lelah, penat, dan rapuh karena dunia kerja yang penuh intrik. Bila ku seolah terluka dan tak berdaya, saat itu juga kularikan diriku menuju pantai. Butuh 45 menit dari tempat kerjaku hingga sampai ke Anyer. Sering ku mengendarai motor sendirian menyusuri sepanjang Anyer, dan berhenti pada suatu bibir pantai tanpa penghuni. Aku akan duduk di atas pasir putihnya. Meninggalkan semua kepura-puraan. Seolah tak mengenal dunia diluar sana. Lalu mulai menitikkan air mata. Dan, Masya Allah… meski tanpa kata, saat-saat senja itu mampu merapikan puzzle hati yang berantakan. Hanya ada aku dan Dia. Cahaya orangenya seolah menyapaku lembut. Nyaman seperti rahim ibu… Dan lambat laun kubisa menyadari semua khilaf diri. Dan kurasakan semakin besar ampunan dan kasih sayang Allah…

Hingga suatu saat, bersama seorang sahabat, kumenyengajakan diri ke Islamic Book Fair. Pada saat itu, ku tengah berpikir tentang pernikahan. Dan aku sadar, ilmuku mengenai hal tersebut sangatlah minim. Karena itu aku mulai sibuk hunting buku-buku tentang pernikahan. Mataku suatu ketika beradu dengan sebuah buku karya Muhammad Thalib, berjudul Manajemen Keluarga Sakinah. Beliau menjelaskan konsep sebuah pernikahan dengan bahasa yang mudah dimengerti, bahkan untuk orang awam sekalipun. Gaya bahasanya renyah dan sangat persuasif. Setelah membaca keseluruhan buku itu, kumulai bisa menentukan pilihan. Dan semakin meyakinkanku bahwa menikah bukanlah hal yang main-main. Anak kita kelak, berhak dilahirkan oleh ayah dan ibu yang kepahamannya terhadap Islam bukanlah sebatas symbol semata. Anakku kelak, berhak mendapatkan pendidikan yang benar tentang Islam. Suami kita, berhak mendapatkan pendampingan terbaik. Dan semua itu tidak bisa kita lakukan tanpa sebuah konsep perencanaan yang matang tentang pernikahan. Bagiku, buku tersebut, sedikit banyak tengah membuka ruang hampa dihatiku, menampar segala kemalasanku mencari ilmu tentang pernikahan. Aku seolah tergerak untuk berusaha melakukan persiapan pernikahan seoptimal mungkin, agar bisa menjadi pendamping terbaik bagi sumiku kelak.

Tentu ada masanya aku lemah dan futur, tetapi, ada satu hal yang selalu membuatku kembali semangat seketika. Dalam cover buku tersebut, terdapat gambar sebuah keluarga muslim yang tengah menyonsong masa depannya. Mereka tengah bercengkrama di tepi pantai. Anak-nak shaleh dan shaleha mereka berlari mengejar ombak penuh semangat. Sementara sang Abi dan Ummi mendampingi mereka dengan penuh kasih sayang. Kala itu langit berwarna jingga, cahaya matahari membuat pantai berwarna keemasan. Mungkin hanya gambar sederhana, tetapi bagiku, ia berbicara banyak hal. Betapa selama ini aku lalai. Merasa bangga karena meski belum menikah, aku dapat hidup sendiri tanpa bantuan orang lain. Aku menangis. Dan kumulai merasakan hal yang berbeda.

Allah… betapa agungnya sebuah pernikahan. Betapa indah sebuah keluarga sakinah. Bisakah aku memiliki keluarga seindah mereka. Bisakah aku melahirkan anak-anak yang cemerlang dalam Islam. Dan seribu pertanyaan serupa kembali menyeruak manakali aku melihat cover buku tersebut. Kelak, aku ingin membawa keluargaku melihat keindahan senja dipinggir pantai, berkontemplasi dengan kemegahan Sang Pencipta. Agar esok, kami bisa membangun impian yang lebih kokoh tentang peradaban Islam yang dimulai dari keluarga muslim. Bukan mimpi yang untuk dikhayalkan, tetapi impian untuk diwujudkan. Insya Allah.

Pada saat itulah, kumulai merencanakan pernikahanku secara lebih real. Membaca buku-buku tentang pernikahan. Browsing tentang hal-hal yang berkaitan dengan pernikahan. Amal yaumi semakin diperkuat. Qiyamul lail adalah hal yang menjadi sebuah keniscayaan. Aku merasa saat itu aku tidak main-main. Kumulai membuat sebuah catatan yang kunamai dengan Faith Note. Sebuah buku catatan tentang harapanku akan calon suamiku. Aku ingin calon suamiku adalah seperti yang kutulis pada buku Faith Note itu. Maka kutulis dengan sangat detail kriteria yang kuinginkan, mulai dari tinggi badannya, asal sekolahnya, warna rambutnya, bahkan hingga namanya, kupilih yang terbaik artinya. Fikrohnya, hobinya, tempat kerjanya, gajinya, kebiasaan baik dan buruknya. Semuanya. Meski pada akhirnya, selalu… kupasrahkan semua pada Allah. Sesungguhnya hanya Allah yang tahu mana yang terbaik untuk kita.

Aku percaya, Allah adalah apa yang kita pikirkan. Berdo’alah kepada Allah, niscaya Allah kabulkan. Telah begitu sering aku melihat keajaiban Allah tampak di depan mataku, dan saat itu, kulihat kembali keajaiban Allah dihadapan mata dan hatiku.

Suamiku kini, Insya Allah yang terbaik untukku. Dia adalah apa yang dulu pernah kutulis dalam Faith Note-ku. Iya.. tentu tidak semuanya benar, tetapi semua hal yang sangat prinsipil kutemukan ada padanya. Ia ikhwan yang shaleh, Insya Allah. Tertarbiyah, berlatarbelakang teknik, tinggi badannya persis sama seperti yang kutulis dalam Faith Note-ku. Ia memiliki dua kakak perempuan, sama seperti yang tertulis di Faith Note-ku juga. Hobinya adalah yang dulu kuinginkan ada pada suamiku kini. Buku tersebut, telah menginspirasiku dalam berbagai cara, sebuah hantaran hidayah dari Allah untukku. Alhamdulillah…

Hari ini, bila ku merasa lelah menjalani hari-hari sebagai seorang istri, dengan janin dalam perutku, kumelihat cover buku tersebut, sekilas kubaca isinya, dan tiba-tiba kumenangis terharu. Subhanallah… bagiku, disinilah surga itu berawal. Dan perlahan ku akan semangat kembali…
Oh, iya… satu hal yang terlupakan, qadarullah… ternyata suamiku juga seseorang yang selalu berkontemplasi dengan senja. Bila saat senja tiba, adalah waktunya bagi kami merunut kembali perjalanan ini, merencanakan masa depan, mencari solusi permasalahan rumah tangga, menyusun puzzle hati agar kembali bersinar…

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More