Rabu, 12 Januari 2011

Sepedaku, Bawa Aku Meraih Mimpiku…

Oleh: Mukhti Nuryani 

Kuliah adalah mimpi terbesarku setelah lulus SMA. Meski aku tahu, mimpiku saat itu hanyalah sebuah harapan kosong. Orangtuaku pasti tak kan mampu membiayai kuliahku. Lihat saja kehidupanku. Ayahku cacat mata. Beliau tak mampu bekerja maksimal, kecuali bercocok tanam dan memberi makan sapi dan kambing gaduhan milik kami. Ibu tercintaku, bekerja menjajakan gorengan setiap pagi demi memenuhi kebutuhan hidup keluarga kami. Aku, ayah, ibu, adik dan kakakku tinggal di sebuah rumah kecil berdinding setengah tembok dan setengah gedhek (dinding bambu) yang terletak di kabupaten ‘kering’ Gunungkidul. Kakakku 2 tahun lebih tua dariku, setelah lulus SMK terseret arus urbanisasi ke Jakarta. Adikku, 10 tahun jarak usianya denganku. Ah, dan aku, anak kebanggaan orangtuaku. Bisa sekolah di SMA favorit, kelas akselerasi pula, pernah jadi juara Olimpiade Sains Nasional tingkat SMP meski hanya sebatas medali perunggu. Tapi tetaplah aku, harapan dan mimpi keluargaku.

Begitulah keadaanku. Ternyata setelah lulus SMA luntang-lantung tak tentu arah mau ke mana. Pernah aku meminta pada orangtuaku aku ingin masuk STAN yang katanya biaya kuliah ditanggung pemerintah. “Biaya hidup dari mana nduk? Untuk biaya pendaftaran 100 ribu pun ibu tak punya “,kata Ibuku waktu itu. Ya Alloh, sungguh, pecah tangisku waktu itu. Sesak rasanya dadaku. Aku takkan sanggup memaksa, dengan keadaan keluargaku yang serba kekurangan. “Aku bisa ikut kakak di Jakarta Bu,” bujukku. Dan lagi-lagi keadaan tak mampu kupaksakan. Kakakku hidup serba pas-pasan di Jakarta, bagaimana mungkin aku tega membebaninya?

Akhirnya kuputuskan untuk mencari kerja. Kutemui Mbak Ratna, tetanggaku yang kerja sebagai pramuniaga di salah satu toko busana muslim di Jogja. Kuminta dia mencarikan pekerjaan untukku di Jogja. Dan kesempatan itu datang. Mbak Ratna mengajakku untuk menemui manajer salah satu toko busana muslim yang baru mau buka di Jogja. Saat melihat penampilanku yang apa adanya dengan baju atasan warna putih terbagus yang kupunya dan celana hitam penuh bekas jahitanku yang paling berharga, aku tahu, peluangku diterima hanya sekitar 2% saja. Dan benar saja, aku ditolak.

Tapi aku masih belum menyerah. Dengan baju atasan putih terbagus yang sama dan celana hitam penuh jahitan yang juga masih paling berharga, aku kembali melamar kerja di Jogja. Tak perlu tanya bagaimana hasilnya. Lagi-lagi aku ditolak. Hari itu, air mata dan rasa kecewa adalah bagian dari hidupku.

Masih belum menyerah. Kali ini kucoba melamar kerja di daerahku sendiri. Kudengar toko Istana akan membuka cabang baru di kecamatan tempat aku tinggal, tepatnya di kecamatan Playen. Toko Istana adalah toko yang cukup memiliki banyak cabang di Gunungkidul. Begitu kudengar ada lowongan, aku langsung melamar.

Hem…lagi-lagi masih dengan baju atasan putih buluk terbagus yang kumiliki, celana hitam penuh jahitan yang juga masih paling berharga, aku melamar kerja. Ikut tes wawancara dan alhamdulillah…kali ini baju atasan putih dan celana hitam jahitanku tak perlu lagi menyaksikan aku menangis. Aku diterima! Sungguh aku merasa sangat bahagia. Setidaknya aku takkan lagi jadi pengangguran. Dan yang paling penting, aku takkan lagi membebani orangtuaku, sungguh aku ingin meringankan beban mereka.

3 bulan aku training di Toko Istana. Gaji pokok yang hanya 180 ribu per bulan, sudah mampu membuat kecewaku sedikit terobati. Aku sempat ditempatkan di bagian administrasi. Tapi karena beberapa faktor, akhirnya aku ditempatkan di bagian kasir. Dan mulailah hari itu, sekitar bulan September 2008, aku resmi jadi kasir toko Istana Playen. Kujalani hari-hariku melayani pembeli di toko, meskipun mimpiku untuk kuliah masih belum pudar dari ingatan. Setiap hari, setiap kali toko sepi, aku selalu menuliskan mimpiku dalam secarik kertas. “Aku ingin kuliah”. Kutulis dengan debaran hati yang senantiasa mengajakku menangis. Ya Robb, tunjukkanlah kuasamu…

Seperti kata Salim A.Fillah dalam bukunya “Dalam dekapan Ukhuwah”, bekerja maka keajaiban. Tapi tak selamanya setiap pekerjaan menghasilkan keajaiban. Dan hari itu, hari di mana seorang ibu paruh baya berbelanja di toko Istana, kuanggap sebagai sebuah keajaiban. “Lho, ini Mukhti to? Yang pernah dapat perunggu di Olimpiade Sains Nasional? “, tanya si Ibu yang ternyata adalah pegawai dinas sosial, namanya Bu Kris. Beliau adalah tetangga se-Rwku. “Kok nggak kuliah kenapa?”, tanyanya. “Nggak ada biaya Bu “,kataku hampa. Bu Kris menyatakan keprihatinannya atas nasibku. Beliau berjanji akan mencarikan jalan keluar untukku. Ya Robb, semoga ada jalan…

Beberapa minggu kemudian, datanglah kabar baik untukku. Bu Kris menawariku untuk tinggal di sebuah panti asuhan di Jogja. Di sana aku akan dikuliahkan. Dalam benakku kata ‘Panti Asuhan’ terdengar begitu memprihatinkan. Kupikir pastilah tempat tinggal anak-anak yatim piatu yang serba kekurangan. Sempat aku merasa bimbang dan resah. Berat bagiku meninggalkan toko Istana, teman-teman di sana sudah seperti saudara bagiku. Kucoba untuk bertanya pada Ibu tercintaku. “Semua bergantung padamu nduk, kalo memang masih ingin kuliah, itu adalah pilihanmu, kalo tetap ingin kerja, ibu juga tidak keberatan “, sungguh sebuah jawaban yang lagi-lagi membuatku sesak. Berkali-kali aku sholat istikharah demi mendapatkan jawaban terbaik.

Januari 2009, akhirnya aku meninggalkan toko Istana. Sesak dadaku saat perpisahan dengan teman-teman di toko Istana. Tepatnya tanggal 4 Januari 2009, aku mulai tinggal di Panti Asuhan Sinar Melati 7, Al-Quddus, yang terletak di dusun Lempongsari, kelurahan Sariharjo, kecamatan Ngaglik, Sleman, Yogyakarta. Hari pertama aku datang, suasana panti masih sepi. Aku ditempatkan di sebuah kamar berukuran 3x10 meter yang berpenghuni 11 orang termasuk aku. Hari pertama aku makan di panti, nasi yang kumakan ternyata basi! Ya Robb, berat sekali waktu itu. Rasa tak betah mulai menggelayuti pikiranku. Tapi kucoba untuk meyakinkan diri sendiri, disini adalah langkah awalku meraih mimpi…

Sembilan bulan aku menjadi penjaga toko di panti tempat aku tinggal. Toko kecil yang semrawut, tanpa manajemen yang jelas. Selama 9 bulan aku mati-matian menghidupkan toko yang nyaris mati. Sendirian. Jam kerjaku lumayan padat. Aku menunggu toko dari jam 6 pagi sampai jam 10 malam. Terasa berat memang. Tapi itulah syarat yang diajukan Bapak Budi Pardjiman, pendiri panti asuhan Sinar melati jika aku benar-benar ingin dikuliahkan.

Awal bulan April 2009 aku mengikuti tes masuk UIN Sunan Kalijaga. Aku ingin jadi guru matematika. Kupilih jurusan yang sesuai dengan minatku. Semangatku begitu membara. Kukerjakan soal dengan teliti. Tapi ternyata aku tak diterima. UIN Sunan Kalijaga mendepakku sebagai salah satu calon mahasiswanya. Tepatnya tanggal 9 Mei 2009, saat pengumuman tes tertulis yang kuikuti, tangisku tak henti membasahi baju atasan putih kebanggaanku. Bagaimana tidak? Saat itu mimpiku seperti semakin lari menjauh.

Rasa kecewaku terus membayang hingga aku takut mengikuti tes masuk perguruan tinggi yang lain. Lalu datanglah tawaran kuliah untukku dari salah satu mahasiswa STMIK Amikom Yogyakarta yang juga tinggal di salah satu cabang Sinar Melati. Katanya di sana 100% biaya ditanggung pihak Amikom. Aku tertarik. Biaya 100% free adalah alasan paling pokok kenapa akhirnya aku memilih STMIK Amikom Yogyakarta.

Segala yang berkaitan dengan pendaftaran hingga tes masuk, berjalan dengan lancar. Sempat ada pemberitahuan bahwa Amikom tidak lagi memberikan free biaya kuliah. Tapi setelah Bapak Budi Pardjiman sanggup membiayai kuliahku di kampus ungu, aku merasa begitu lega. Jadilah aku seorang mahasiswi, tepatnya pada bulan Oktober 2009. Dan inilah aku sekarang. Mahasiswi jurusan Teknik Informatika STMIK Amikom Yogyakarta semester 3. Mimpiku untuk kuliah, kini telah jadi nyata. Mimpiku berikutnya adalah jadi sarjana. Secepatnya! Lebih cepat dari kayuhan sepedaku, yang setiap hari menemani perjalanan mimpiku. Awalnya naik sepeda adalah hal yang berat bagiku. Setiap hari panas terik matahari selalu menjadi musuh utamaku. Tapi kini, semua terasa begitu ringan. Di kampus Amikom, aku bertemu dengan para pejuang sejati. Anak-anak UKI Jashtis yang senantiasa mendukung langkahku. Selain kuliah kini aku juga mengajar les privat. Meski dengan gaji yang sangat kecil, tapi aku sangat bahagia. Aku bahagia di Sinar Melati, aku bangga ada di STMIK Amikom Yogyakarta. Kini aku tengah mengejar mimpiku menjadi sarjana. Setiap kegagalan yang pernah kualami, segalanya memiliki hikmah yang begitu indah. Ya Robb, begitu indah rencana yang engkau tuliskan untuk kehidupanku. Setiap kesempatan yang kumiliki, takkan pernah tega kukhianati. Saatnya kini kukayuh sepedaku lagi. Dengan ikhlas dan penuh semangat. Sepedaku…bawa aku meraih mimpiku!

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More