Rabu, 12 Januari 2011

Cinta Tak Serumit Yang Dikira

Oleh: Ariyani

Begini nasib belum punya kuda besi atau tandu besi, harus menunggu angkot lama ditambah berlarian mengejar bus dan berdesak-desakan pula. Tetapi disanalah banyak hal unik yang kita temui, banyak hal yang bisa kita lihat dan menjadikannya pelajaran. Berbagai rasa bercampur ketika berada dalam bus. Jam terus melaju tak kenal henti. Sudah hampir setengah jam aku  menunggu, tetapi sang angkot belum juga lewat. Inilah tarbiyah kesabaran yang sesungguhnya, tetap bersyukur adalah kunci yang paling tepat agar hati tak merasa menjadi manusia yang paling menderita. “Alhamdullilah akhirnya yang ditunggu datang juga.” gummaku setelah setengah jam lebih menunggu. Lima belas menit perjalanan dari kampungku menuju terminal bus yang dapat mengantarku ke tempat kerja. Dua bus menyapa tapi semuanya penuh. Bus ketiga datang tak begitu penuh. Kulambaikan tanganku, buspun berhenti. Seperti kernet bus pada umumnya suka tidak sopan dan asal dorong agar segera meluncur kembali. Alhamdulliah, masih ada tempat duduk kosong artinya aku bisa rebahkan punggungku dan sandarkan kepalaku dari rasa pening yang masih saja menyerangku.

Bus terus berlari tanpa peduli kenyamanan penumpangnya, baginya yang penting kejar setoran. Tak bisa disalahkan para kru bus tersebut, mereka juga mencari penghidupan entah untuk keluarganya ataupun untuk dirinya sendiri. Baru 5 menit aku duduk atau baru saja mataku ingin kututup sejenak bersiap utnuk ke alam mimpi tapi tiba-tiba terbuka kembali bersamaan dengan masuknya  penumpang sepasang suami istri. Aku berdiri dan merelakan tempat dudukku untuk ibu  penumpang tadi. Jika ku taksir kira-kira usia lebih muda 5 tahunan dari usia kakek-nenekku. Satu pemandangan yang unik, sang ibu mempersilahkan suaminya untuk duduk sambil mengucapkan terimakasih kepadaku. Aku hanya tersenyum dengan takjub. Luar biasa cintanya sang Ibu itu kepada suaminya. Biasanya yang sering kujumpai sang suami yang seperti itu, merelakan kursinya untuk istri. Tetapi tidak untuk kali ini. Warna kehidupan memang tak selalu sama, selalu berubah.

Penumpang naik turun silih berganti. Ku cari pegangan yang membuatku nyaman dan aman dari pertahananku berdiri. Bus semakin penuh dan melaju semakin kencang. Tak sengaja aku lihat dua pasang suami istri yang duduk bersebrangan tepat didepan aku berdiri. Kulirik satu pasang penumpang di sebelah kiri. Sang istri tertidur pulas, sepertinya capek sekali. Mungkin perjalanan jauh atau sebelum berangkat melakukan pekerjaan yang menguras tenaga sehingga terlihat sangat letih. Sang suami memangku anaknya yang berumur sekitar 3 tahun dengan santainya. Meski terlihat tak kalah letih dengan istrinya. Sang anakpun tak rewel, sepertinya ia tahu ibundanya tercinta sedang tertidur pulas. Kulirik sepasang suami istri di sebelah kanan. Sedikit berbeda dengan yang sebelah kiri. Ayah ibunya terjaga namun anaknya yang berumur sekitar 3 bulan tertidur pulas di pangkuan ibunya. Sang ayah mencoba untuk menghibur istrinya dengan berbagai cara dari maen tebak-tebakkan disambung cerita lucu. Seakan-akan sang suami ingin membagi  rasa capek sang istri dengan menghiburnya. Sesuatu yang mungkin jarang dilakukan oleh  sepasang suami istri apalagi didalam bus. Ku hanya bisa tersenyum haru melihat tiga pasang suami istri yang menunjukkan rasa cinta terhadap pasangan dengan cara yang berbeda-beda dan unik. Ternyata bahagia itu tidak mahal, tidak harus dengan rekreasi keliling Eropa, punya segala fasilitas, rumah mewah, punya jabatan, istri atau suami cakep atau sederet kemwahan lainnya tetapi bagaimana kita menyiasati dan menyikapi.

Sederhana saja pengungkapan rasa sayang dan cinta terhadap pasangan atau keluarga yang kita cintai. Ada kisah lain yang pernah saya baca yang membuatku tertegun takjub dan membuat mataku berlinang, yaitu sepenggal kisah yang pernah dituliskan oleh Salim A. Fillah dalam bukunya “Saksikan Aku Seorang Muslim” terbitan Pro-U Media. Disana dituliskan kisah seorang laki-laki yang membeli pecel lele untuk istri tercintanya. Dengan segepok uang recehan ia belikan sebungkus pecel lele. Rintik hujan yang menyapanya ketika mau pulang tak menghalangi perjuangannya untuk mempersembahan pecel lele terhadap sang istri. Tangan kananya menggenggam bungkusan pecel lele yang ia sembunyikan dibalik bajunya, sedang tangan kirinya mencoba untuk melindungi kepalanya agar air hujan yang menetes tak menembus bungkusan pecel lele tadi. Brangkali pemandangan yang diceritakan Salim A. Fillah sangat jarang ditemui. Apalagi saat ini semakin banyak kasus kekerasan dalam rumah tangga baik yang dilakukan sang suami atau sebaliknya. Cinta yang mulai luntur setelah menikah. Perhatian yang mulai hilang setelah menikah. Segala bujuk rayu yang kian jarang hadir setelah menikah. Tetapi tidak pada orang-orang yang ada dalam kisah tadi. Semua tetap indah dalam bingkai pernikahan, semua masih manis dan istimewa. Begitulah hidup dan kehidupan, kadang tak pernah disadari bawasannya kebahagiaan itu tidak harus dengan melimpahnya harta kekayaan. Barangkali itulah barokah yang diberikan Alloh. Semua tak bisa diukur dengan apa yang kita lihat dan juga kita pikirkan. Kebahagiaan tak sesulit yang kita angankan. Kebahagian hadir dalam bingkai yang sederhana dan tidak rumit. Semua tergantung dari manusia itu sendiri, bagaimana ia menyikapi apa hakikat kebahagiaan yang sesungguhnya. Dan cinta tak serumit yang dikira, banyak cara yang dapat dilakukan untuk membahagiakan orang-orang yang kita cintai.

Penumpang semakin penuh, bahkan untuk bernafaspun sulit. Tinggal beberapa meter saja tempat kerjaku. “Tetapi bagaimana keluarnya ini.”desisku. Kuteriakkan tempat dimana aku harus berhenti. Tetapi rasanya suaraku tak terdengar oleh sang sopir atau sang kernet. Kuteriakkan lagi lebih keras. Upz, ternyata kebablasan. “Hmm,..bakal jalan lebih lama. Tak apalah itung-itung olahraga.” batinku. Hhhh,..Lega juga akhirnya. Ada yang bergetar dari saku jaketku. Hmm,..sms dari my brother rupanya. “Wis tekan durung mba? Ora semaput nang dalan to?” begitu isi smsnya. Seperti ketiga penumpang di bus tadi dan cerita yang pernah dituliskan Salim A. Fillah dalam mengungkapkan rasa cintanya yang berbeda, begitu pula dengan adikku. Kutahu ia sangat menyayangiku dengan caranya sendiri. Kutekan tombol replay, jari-jariku mulai menari diatas keyboard ponselku. “Sudah my brother, thank you n Love you”. Begitu juga aku, sangat menyayangi adikku dengan caraku pula. Alhamdulillah,segala puji hanyalah milik Alloh. terimakasih ya Robb. Engkau telah memberiku pelajaran sore ini melaui sepanjang perjalanan didalam bus yang berdesak-desakan. Tak semua penderitaan itu berbuah penderitaan pula, tetapi dalam setiap ketidaknyamanan yang kita dapati banyak hal yang menginspirasi untuk menjadikan diri lebih baik.

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More