Kamis, 06 Januari 2011

Murah Tapi sangat Menggugah


Oleh: Fathathun Istiqomah

Tak ada seorang pun yang tahu akan menjadi seperti apa dirinya besok. Jangankan besok, bahkan apa yang akan terjadi semenit lagi saja tak ada yang tahu. Seperti aku hari ini yang tak pernah tahu akan terpilih menjadi batu bata pengokoh barisan dakwah di kampus (andai bisa disebut begitu), membayangkan saja tak pernah.

Masa SMA dulu, aku adalah seorang gadis yang bisa dikatakan cuek pada organisasi, bahkan terkesan membencinya. Aku dan teman-teman seringkali melihat para organisator di sekolah kami adalah orang-orang sok sibuk yang hanya bergerak kesana kemari melakukan hal-hal tidak penting. Kami sering mencari-cari kelemahan para aktifis, seperti ‘seorang ketua OSIS kok bodoh, anggota Majlis Ta’lim kok pemarah, Dewan Ambalan Pramuka sok tegas’, dan sebagainya. Tak pernah ada seorang aktifis yang sempurna di mata kami, mungkin terutama di mataku.

Setelah tiga tahun berkutat dengan “kesibukan” siswa SMA, akhirnya kami pun lulus. Menginjakkan kaki di sebuah Perguruan Tinggi ternama adalah salah satu cita-cita terbesarku. Ada dua perguruan tinggi yang aku incar waktu itu, UGM dan Undip. Ternyata Allah mengabulkan permintaanku, meski sejujurnya kampusku sekarang adalah pilihan kedua, aku tetap merasa bangga karena akhirnya aku mampu mewujudkan impian yang tak pernah terlupa dari doa-doa dalam sholatku.

Aku diterima di Universitas Diponegoro Semarang, jurusan Sastra Inggris. Bangga rasanya bisa berada di bawah naungan pangeran terkenal di Jawa. Meski pada awalnya kedua orang tua sama sekali tak menyetujui aku kuliah di Undip. Akhirnya, dengan berbagai rayuan dan bujukan, beliau berdua mengalah dan mengizinkanku melanjutkan studiku di kota lumpia tersebut.

Setengah tahun berlalu, aku dengan teman-teman baruku, aku masih dengan keapatisanku, aku masih dengan kebencian-kebencian pada orang-orang sok sibuk di sekitarku. Aku ingat benar, bagaimana “mbak-mbak berjilbab lebar” mulai mendekatiku selangkah demi selangkah, dan aku berlari beribu-ribu langkah. Mereka mendekat, aku menghindar. Mereka mengajakku tinggal di wisma, aku bilang aku sudah mendapat kos. Mereka mengajakku ke kajian, aku bilang sibuk belajar. Sama seperti teman-teman yang lain, alasan yang mungkin sama pula, dengan keogahan yang selevel pula.

Hingga suatu hari, aku mulai merasa lelah berkejaran dengan mereka. Aku putuskan untuk mulai membuka diri mengikuti apa yang mereka minta, karena ku pikir tak ada salahnya mecoba hal baru, memandang dari perspektif yang berbeda. Aku mulai masuk menjadi bagian dari mereka, meski belum seutuhnya kuberikan hatiku ke dalamnya.

Waktu terus bergulir, aku direkrut menjadi seorang staff di rohis kampus. Aku mulai mengerti kebiasaan-kebiasaan mereka. Sedikit demi sedikit mulai paham dengan bahasa-bahasa “gaul” mereka, tapi tetap saja aku masih merasa aku belum menyatu seutuhnya. Hingga suatu hari, ada seorang teman memberitahuku bahwa ada Training Akbar Pementor Undip angkatan 2007 di kampus Tembalang. Salah satu trainernya adalah Solikhin Abu ‘Izzudin, seorang penulis best seller. Rasanya nama itu sudah tidak asing lagi di telingaku. Ternyata memang benar, beliau adalah penulis buku Zero to Hero dan aku pernah tahu tentang buku yang kata teman-teman sangat inspiratif itu. Hatiku tergerak untuk ikut. Aku pun memutuskan akan mengikutinya.

Hari yang dijanjikan pun tiba. Training dimulai sejak pagi sekitar pukul 08.00 WIB. Setelah melewati beberapa acara, tibalah giliran Pak Solikhin memberikan motivasinya. Di acara tersebut beliau memaparkan tentang buku terbaru beliau yang berjudul “Quantum Tarbiyah”. Sebenarnya sebelum ikut training, setiap peserta diwajibkan membaca buku tersebut agar lebih paham saat nanti dibahas langsung oleh penulisnya. Namun, seperti biasa seorang mahasiswa yang kadang tidak mengindahkan perintah, aku pun tak membacanya, bahkan melihat covernya saja tidak (Afwan jiddan ya ustadz?!).

Wejangan beliau yang masih aku ingat benar hingga hari ini adalah tentang bidadari edisi spesial yang dihadiahkan kepada Umar bin Khattab r.a., karena perjuangan beliau membela islam di garda terdepan. Beliau kemudian melanjutkan, bidadari surga bisa diperoleh siapa saja yang benar-benar mau membela agama Allah hingga kesyahidan menjemputnya. Di sela-sela training itu aku berpikir, bagaimana dengan seorang muslimah, apakah yang akan didapatkan. Seolah tahu apa yang ada di benakku, beliau menjelaskan tentang indahnya balasan Allah yang akan diberikan bagi siapa saja yang bertaqwa. Tidak peduli laki-laki maupun perempuan, semua sama di hadapan Allah. Belakangan aku tahu bahwa wanita bisa mendapatkan yang lebih spesial, yakni menjdikan para bidadari surga cemburu karena ketaatan seorang muslimah yang tidak bisa mereka peroleh. Di training tersebut, beliau menjelaskan tentang quantum tarbiyah, ya… tarbiyah! Dan saat itu, aku belum paham benar apa itu tarbiyah. Bagiku, definisi tarbiyah sama saja dengan jamaah yang terkotak-kotak, seperti jamaah-jamaah lain yang kadang tak bisa menerima perbedaan.

Setelah mengikuti training itu, yang ada di benakku adalah membeli buku “Quantum Tarbiyah”, membaca isinya, memaknainya, mendapatkan definisi lebih mendalam tentang tarbiyah, dan membuatnya sebagai salah satu cadangan penyemangat saat aku mulai meredup, karena waktu itu aku melihat betapa semangatnya Pak Solikhin memberikan motivasi dan aku pikir isi buku tersebut pasti lebih banyak kata-kata yang mampu memotivasi semangatku.

Waktu pun berselang, tanggal 1 Maret 2010 ada pameran buku di dekat kampus. Aku dan teman-teman datang untuk sekedar melihat-lihat atau membeli satu dua buku. Kami berkeliling di tengah hingar bingar musik di dalam gedung, ditemani ribuan buku dengan stand berderet-deret. Saat berjalan di kerumunan, mataku tertuju pada satu buku berjudul “New Quantum Tarbiyah”. Aku berpikir sejenak, samakah isinya dengan “Quantum Tarbiyah” saja tanpa tambahan “New”. Tanpa berpikir panjang aku pun membelinya dengan harga hanya Rp 28.000,00 saja. Ada rasa senang yang menyusup tiba-tiba sesaat setelah menerima buku itu. Mungkin ada kepuasan tersendiri karena aku tahu sedikit isinya dan pernah ditrainer oleh penulisnya. Entahlah..

Sesampai di kos, aku langsung membuka dan mulai membacanya. Ternyata, membaca buku itu tak bisa habis dalam dua hari, seperti biasanya aku membaca novel seukuran buku tersebut. “Quantum Tarbiyah” tak hanya sekedar judul buku, tapi lebih kepada oase di tengah panasnya gurun pasir. Setiap kata di dalamnya adalah seteguk air bagiku yang belum mampu memahami tarbiyah seutuhnya. Menjadi kader yang penuh dengan utopia yang seringkali tak tergapai karena kemalasan diri. Sedikit demi sedikit tercerahkan dan termotivasi dengan sebuah buku yang tak lebih tebal dari kumpulan tugas mahasiswa. Setiap kali aku membaca buku tersebut, tak jarang aku berhenti di suatu kalimat untuk sekedar memikirkan kata-katanya dan menilik pada diriku sendiri, “sudahkah aku tertarbiyah dengan baik?”. “Apakah aku seorang kader tarbiyah?”. “Apakah makna tarbiyah bagi diriku?”, dan pertanyaan-pertanyaan lain yang berseliweran di benakku.

Setelah benar-benar merampungkan buku tersebut, aku baru sadar bahwa ternyata orang-orang hebat lahir dalam tarbiyah, lahir karena mereka bertarbiyah dan mentarbiyah orang lain. Inilah quantum tarbiyah. Aku ingin menjdi bagian di dalamnya.

Pernah suatu hari aku menjadi MC dalam suatu acara kemuslimahan di kampus. Tugas seorang MC tentu tak hanya membuka dan menutup acara, tapi ia juga harus mengisi kekosongan waktu jika ada kendala di tengah acara seperti menunggu kehadiran pembicara atau menunggu pembicara siap dengan materi yang akan dipresentasikannya. Hari itu, aku kehabisan bahan untuk dibicarakan. Lalu terbersit begitu saja dalam otakku untuk menceritakan suatu kisah. Kurang lebih redaksinya seperti ini, ada seorang ulama kaya raya yang diprotes oleh seorang kafir dengan mengatakan bahwa “bagi para ulama, dunia adalah penjara. Tapi mengapa engkau mendapatkan kekayaan yang melimpah, sedangkan bagi orang kafir dunia bagaikan surga, tapi mengapa iku tetap menderita”. Dengan cerdik ulama itu pun menjawab “jika dibandingkan dengan surga, keadaanku seperti ini bisa jadi adalah penjara. Dan jika dibandingkan dengan kerasnya siksa neraka, keadaan yang dialami olehmu seakan sedang dibebaskan dari siksa neraka.”

Kisah tersebut, tentu saja aku dapatkan dari buku “New Quantum Tarbiyah”. Akhirnya tidak hanya aku yang tergugah dari kisah pendek yang aku nukil dari sebuah buku, ada beberapa orang lagi yang mungkin tergugah dengan kecerdasan jawaban dari seorang ulama. Tidak hanya aku yang terpompa motivasinya dalam berdakwah, mungkin ada banyak lagi kader di luar sana yang potensinya melejit tiba-tiba karena membaca sebuah buku. Bagiku hari ini tarbiyah bukan lagi mengikuti kata-kata “mbak-mbak berjilbab lebar”, tapi tarbiyah adalah proses melejitkan potensi diri. Tarbiyah adalah kesadaran untuk terus memperbaiki hati dan mendekat pada Ilahi.


0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More