Rabu, 12 Januari 2011

Membina Surga

Oleh: Wahtini

Cinta selalu menghadirkan energi tak terkira. Ia melimpahimu kekuatan tak terduga. Ia mampu membawamu terbang tinggi meski tanpa sayap atau pesawat. Ia selalu menemukan cara untuk menjadi berarti bagi sesuatu yang dicintainya.

Cinta selalu menghadirkan tenaga luar biasa. Ia tak menangis meski terluka menganga. Ia tak mengeluh walau jarak tempuh teramat jauh. Ia tetap teguh dalam azzam yang kukuh, memberikan yang terbaik, dan membahagiakan sesuatu yang cintainya. 

Cinta menganak pinak dalam karya. Cinta berkembang biak dalam kerja. Cinta tak butuh janji. Cinta selalu memberi bukti. Bagi seorang pecinta sejati, tak ada yang tak mungkin!

Bermula dari pertemuan pertama yang tidak terlalu menarik, Aish mengenal Azzam dalam sebuah forum mahasiswa nasional. Pun mereka berpisah tanpa kesan yang berarti. Hanya karena mereka tergabung dalam organisasi dengan background yang sama sehingga memaksa mereka berkomunikasi meski terpisah jarak. 

Namun justru karena hanya bertemu sekali itu, Aish justru merasa ‘aman’ ketika komunikasi via internet dan HP berlanjut intens. Hingga mereka terlibat dalam pembicaraan-pembicaraan ‘dekat’. Lalu semakin dekat. 

Aish pernah jatuh cinta. Perasaan yang kemudian ia tumpas karena ia sadar belum mampu membina cinta itu dalam bingkai pernikahan. Perasaan yang ia cabut dari hatinya dengan kesadaran menjaga hati. Dan kini, ternyata ujian itu datang lagi. Lebih berat, lebih dalam. Mengingatnya seolah mengalirkan kembali darah dari luka yang belum kering. Membaca Jalan Cinta Para Pejuang telah menguatkan Aish untuk melepas perasaan itu dahulu. Akankah kini akan terulang?

Berbilang bulan, perasaan itu semakin bersemi. Aish berusaha sekuat hati menolak, menutupi, dan menyembunyikan sisi hatinya sendiri. Tak bisa dipungkiri sisi hatinya berkata ia ‘mengasihi’ Azzam. Sekuat apapun perasaan itu ditutupi, toh, Raina tak bisa menyembunyikan perasaannya jua. Aish lagi-lagi harus kalah dengan perasaannya. Perasaan yang lebih lembut. Bukan jatuh cinta, namun lebih pada perasaan mengasihi dan menyayangi. Perasaan lembut yang sulit dikenali, yang tak cukup hanya diwakili dengan ‘jatuh cinta’.

Kini Aish merasakan perasaan itu lebih dalam. Sebuah rasa yang jauh tidak realistis. Ada banyak kesangsian atas keberlanjutan cinta mereka. Jika dilanjutkan mungkin akan lebih mengenaskan. Teman-teman yang pasti mencibir. Orang tua juga belum tentu membolehkan, bahkan orang tua Aish (walaupun belum tahu) pernah memberi sinyal untuk menikah dengan ‘tetangga’ saja. Di sisi lain mereka hidup dalam sebuah jamaah dengan seperangkat etika, jika memaksa – apa kata dunia? 

Perasaan bersalah semakin dalam. Aish terjebak pada pertanyaan-pertanyaan, dugaan-dugaan, dan prasangka berlebihan. Ia menghakimi dirinya mengapa memberi kesempatan perasaan itu tumbuh lagi. Ia mencaci maki dirinya yang tidak mampu menjaga diri. Ia mencerca dirinya telah membuat orang lain jatuh hati. Ia mengata-ngatai dirinya yang tak pandai menahan diri. Aish tenggelam dalam resah tak berkesudah.

Sekali lagi Aish meraih buku Salim A. Fillah itu. Berharap dengan membacanya ia akan segera membuat keputusan, yang mungkin sama dengan sebelumnya. Terbata-bata ia membacanya. Mengulang masa setahun yang lalu, kala membaca buku itu diiringi derai hatinya. Kini luka itu lebih dalam. Justru di tengah kemustahilan perasaan itu lebih mengakar. Aish mencintai Azzam lebih dari sekadar dia butuh sandaran, namun justru keinginan untuk membahagiakan.

Akhirnya Aish menyerah. Dia kalah oleh kegentaran dan ketakutan menghadapi masa depan. Aish menyerah. Ia tenggelam dalam ketidakpastian dan kebingungan yang ia ciptakan. Sementara Azzam, di tengah sikap manjanya ternyata menyimpan keberanian bertanggung jawab atas perasaan mereka.

Aish benar-benar menyerah. Namun di tengah kemenyerahannya itulah ia justru merasakan kepasrahan total kepada Allah atas nasibnya. Sebuah penerimaan yang lebih lapang. Tak menuntut apa-apa. Tak hendak meminta lebih banyak kesempatan. Pada sebuah titik, ia seolah mendapat ilham tak terduga. Kali ini ia merasakan semangat yang berbeda. Tidak seperti dulu. Bukan hendak melepaskan perasaan itu, bukan hendak mencabutnya, bukan hendak menghapuskannya. Justru kini, ajaibnya, semangat yang muncul adalah ia bertekad memperjuangkannya. 

Ya Rabb, jika ini yang terbaik bagiku, di tengah ketidakcocokan dan segala perbedaan, di tengah segala ketidakmungkinan dan kemustahilan, jika ia terbaik bagiku ya Rabb.... aku akan berjuang! Derai air matanya menderas mengiringi takbirnya.

Di jalan cinta para pejuang, kita belajar bertanggung jawab atas setiap perasaan kita. (Jalan Cinta Para Pejuang: 180). Sekali lagi Aish menggumankan kalimat itu. Dulu kala ia memutuskan melepaskan perasaan yang sempat mekar hatinya, kini ia justru mengambil langkah sebaliknya: membingkai cinta, membina surga. Ia mengguman lebih keras, lebih menggelora.

Jika bahagia hendak dilukiskan
Barangkali tak cukup langit yang luasnya memayungi semesta ini sebagai kanvasnya.
Jika bahagia hendak dinyanyikan
Mungkin tak sanggup nada do tertendah hingga tertinggi mendendangkannya.
Namun bila bahagia hendak dibahasakan
Barangkali satu kata cukup mewakili; mencintai.
Karena mencintai berarti memberi. Dan sumber kebahagiaan itu ada pada memberi.

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More