Senin, 10 Januari 2011

Dakwah Dan Keinginan Bapak


Oleh: ER. Desi Wulandari

Dakwah, dakwah, dakwah……dan dakwah, serasa hanya kata itu yang boleh aku dengar. Hanya hal itu yang wajib aku lakukan.. aku bosan mendengarnya. Bapak, ustadz-ustadzah, bahkan pimpinan pesantren pun selalu mengulang-ngulang kata itu dalam setiap tausyiahnya, pagi-siang-malam. Aku sampai hapal apa tema yang akan dibahas oleh mereka, setiap kali bertatap muka….

Kamu dilahirkan untuk dakwah, seluruh hidupmu hanya untuk umat, demi kejayaan umat, semua milik kamu adalah milik umat…. Bahkan nyawa kamu pun milik umat, kamu harus berusaha sekuat tenaga untuk kejayaan umat ini, lakukan yang terbaik, semaksimal yang kamu bisa untuk ummat…..

Kata-kata ini menjadi andalan Bapak setiap kali menjengukku di pesantren. Dua kali dalam sebulan selalu ini yang aku dengar, tidak ada kata lain. Seringkali aku merasa iri dengan teman-teman asramaku yang lain, ketika orang tuanya datang menjenguk, tidak pernah mengulang-ngulang kata yang sama seperti Bapakku. Bahkan orang tua mereka selalu berlama-lama di asrama, mereka juga izin keluar pesanntren bersama ayah-ibunya untuk refreshing. Tapi, aku, tidak. Bapak datang hanya sebentar, tidak lebih dari 15 menit, dan itupun hanya dengan nasehat yang sudah kuhapal di luar kepala. Setelah itu, pulang dengan sebelumnya memberi uang saku yang pas-pasan.

Ya Allah, seharusnya aku bersyukur. Aku diberi orang tua yang peduli dengan kejayaan umat, tapi kenapa harus kata-kata itu saja yang diulang-ulang. Sebenarnya tanpa diulang pun aku masih ingat, bahkan hapal konteksnya. Ampunilah hamba ya Rabbi, tidak ada maksud untuk menjadi anak durhaka. Bapak , ibu, aku minta maaf. Ampunilah anakmu yang tidak tahu cara berterima kasih ini. Aku hanya merasa bosan jika harus mendengar kata-kata itu setiap kali mereka datang. Saat mereka menjenguk, aku harus menyiapkan laporan terbaikku. Aku di pondok sama sekali tidak bisa berkutik. Aku benar-benar harus menjadi santri yang taat, benar-benar taat. Semua dewan asaatidz di pesantren ini sudah diminta oleh Bapak untuk mengawasiku, setiap gerak-gerikku diperhatikan dan dilaporkan kepadanya.

Ya Allah, apa memang aku sudah digariskan untuk hidup seperti ini. Harus melakukan semua keinginan orang tua. Bahkan aku harus menjadi juara kelas setiap tahun. Ya Allah, mengapa hamba menjadi alat pemenuh keinginan Bapak. Mengapa aku harus menerima hukuman saat aku mendapat nilai jelek. Ya Allah, hamba yakin, engkau Maha mendengar semua keluh kesah dalam hati ini. Hamba tidak tahu hendak mengadu pada siapa. Hanya pada-Mu Rabb, satu-satunya yang mengerti ingin hati ini. Ya Allah, apakah ini hukuman bagi hamba yang telah banyak melalaikan perintah-perintahMu. Berikan hamba yang hina ini petunjuk-Mu. Berilah kesabaran dalam menghadapi ketentuan dari-Mu ini  Ya Rahiim, Ya Rohman.

Pengharapan Bapak semakin membara manakala mengetahui kalau aku diangkat menjadi pengurus organisasi pesantren. Aku ditempatkan di bagian kebahasaan. Ya pesantren ini adalah pesantren modern. Jadi kami-para santri- diwajibkan untuk menerapkan 3 bahasa resmi, Indonesia-Arab-Inggris. Bapak semakin intent mencari tahu perkembanganku di asrama. Setiapkali menjenguk, selalu menanyakan apa saja program baru yang aku buat di kepengurusan. Tidak hanya bertanya kepadaku saja, Bapak juga mengklarifikasi ke pembimbingku. Bapak juga tidak segan-segan untuk menanyakan laangsung ke pimpinan pesantren. Duh, dengan begitu aku benar-benar tidak bias berkutik.  Ya Allah, begitu semangatnya Bapak, tapi aku tetap saja belum menerima sepenuh hati apa yang diinginkan bapak dariku. Satu hal yang sangat diharamkan bagiku oleh Bapak adalah menangis. Aku tidak boleh menanngis saat dalamm permasalahan, bahkan saat sakit pun. Wahai penguasa hati, kuatkanlah hati ini menghadapi semua ini.

Kini, aku berada di tempat yang sangat jauh dari Bapak, Ibu, pembimbing asrama, asaatidz, dan juga mudir ma’had. Kami terpisahkan oleh jarak yang membentang antara Sumatera-Jawa. Aku memutuskan meneruskan kuliah ke Jawa. Kota yang menjadi tujuan pertamku adalah Malang. Di sinilah, di kota inilah, aku memahami apa yang diharapkan oleh orang-orang yang menyayangiku dengan tulus. Duh gusti, mengapa saat jauh seperti ini, hamba baru menyadari pentingnya kehadiran mereka di sisiku. Aku sadar, selama hidupku, aku banyak mengeluh atas semua hal. Ini kusadari setelah aku melahap habis novel terbitan Qish-U, kelompok penerbit Pro-U Media yang berjudul Birunya Langit Cinta, yang dikarang oleh Azzura Dayana, seorang aktivis dakwah kampus yang juga aktif di Forum Lingkar Pena divisi Sum-Sel. Novel itu aku beli saat jalan-jalan ke mall terbesar kota Malang. Dari novel ini,aku mengetahui bagaimana sebenarnya akhwat itu bersikap. Seorang wanita itu juga harus kuat, tegar, teguh pendirian, tidak cengeng, dan juga selalu berusaha yang terbaik untuk umat. Akhwat juga punya kewajiban untuk berdakwah.

Dalam novel ini, pengarang menceritakan bagaimana Dey-seorang aktivis rohis- berjuang untuk mendakwahkan islam di SMA tempat dia bersekolah. Begitu banyak cemoohan yang dia terima, langkah terus ke hadapan. Terlebih lagi saat ada seorang guru baru yang sangat menarik hati para siswi. Guru tersebut tertarik dengan kegiatan rohis, saat itulah, awal mula semua kejadian rumit yang dihadapi Dey bermula. Dey menjadi pengurus inti dalam rohis, dan menjadi koordinator kegiatan rutin yang diadakan oleh Rohis setiap tahun, twenty-fourCamp . Sang guru menjadi salah satu motivator dalam kegiatan  ini. Banyak siswa yang terrtarik dan mengikuuti kegiatan ijni, terlebih lagi para siswi. Mereka berbondong-bondong mendaftar Rohis. Padahal sebelumny, mereka sangat antipati dengan yang namanya Rohis. Di sinilah Dey, dengan keteguhan hati dan niat, dia meluruskan niat teman-temannya.

Sungguh, aku sangat malu dengan Dey. Dia dengan penuh semangat berdakwah kepada teman-temannya tanpa takut dengan celaan. Aku sangat ingin menjadi Dey. Ternyata dakwah bukanlah hal yang menakutkan. Tokoh Dey membuka mata hatiku. Dakwah bukanlah hal yang harus dihindari, tapi dakwah adalah hal yang wajib dijalani. Dulu dipesantren, aku sudah diajarkan ayat-ayat dan hadits dakwah. Tapi, untuk pengamalannya aku masih nol. Memang, aku diangkat jadi pengurus, setiap hari aku berkecimpung dengan banyak permasalahan-permasalah santri. Namun, itu hanya tebatas pada kenakalan santri.

Hemm, pantas saja Bapak tidak bosan mengulang-ngulang nasehat andalannya. Malah semakin hari semakin bersemangat. Ingin rasanya aku bersujud di kaki Bapak dan meminta maaf atas sikapku selama ini. Aku yang selalu menganggap nasehat itu tidak penting. Bapak hanya ingin anaknya menjadi seperti Maryam binti Imran, yang menyerahkan hidupnya untuk Penguasa Langit dan Bumi, Allah ‘Azza Wajalla. Seperti Sayyidah Khadijah, dengan ikhlas berjuang demi Islam, wanita pertama yang beriman, saat orqng lain dalam kekafiran. Seperti para shabiyah yang tidak gentar dalam berjuang. Begitu mulia keinginan Bapak, tapi aku malah tidak menganggapnya sama sekali. Ampunilah hamba yang telah mengecewakan wakil-Mu yang Engkau anugerahkan kepada hamba, orang tua yang sangat peduli dengan umat ini, yang selalu ingin anaknya menjadi abdi-Mu yang taat. Duh Gusti, apa yang harus hamba lakukan untuk menebus kesalahan itu.

Di sini, di lingkungan baruku. Banyak hal baru yang aku temui. Waktu di pesantren, masalah yang timbul hampir seragam, tapi, di sini, beraneka ragam permasalahan yang setiap hari kutemui. Di dalam hati ini, ada dorongan untuk menolak semua itu terjadi. Tapi, aku bingung harus mulai dari mana. Tokoh Dey-lah yang memberiku inspirasi, membuka mata ini,  aku harus mulai dari sekarang juga. Aku jauh-jauh datang kemari untuk menuntut ilmu. Ilmu untuk kemajuan dan kejayaan umat. Bukan hanya sekadar berpetualang tanpa alasan yang jelas.

Aku tidak akan putus asa dengan kehidupan ini. Dey memberiku pencerahan, harapan itu akan selalu ada seiring dengan keinginan untuk maju. Saat aku tahu aku tidak diterima di universitas yang kuidam-idamkan, aku tidak menyerah. Aku mencari peruntungan di kota lain. Hal yang sama saat Dey tidak di terima di universitas impiannya. Dey mendaftar lagi di universitas yang lain. Aku terinspirasi olehnya. Aku tidak lulus di Malang, tapi di tempat lain aku pasti lulus. Saat ada tawaran untuk ke Jogja, aku langsung mengiyakan tawaran itu tanpa ba-bi-bu lagi.

Aku yakin, Allah pasti menyiapkan rencana terindah dan terbaik bagiku. Rencana terindah yang tidak pernah terpikirkan olehku. Jika dilihat di peta, Jogja lebih dekat jaraknya dari tempat asalku -Palembang- dibandingkan dengan Malang. Sebelum keberangkatanku ke Malang, hampir semua orang yang dekat denganku menyarankanku untuk kuliah di Jogja saja…. Tapi aku dengan tegas menolak. Aku beralasan di Jogja sudah terlalu banyak orang yang kenal denganku. Aku ingin lebih mandiri tanpa bantuan dari kenalan-kenalan itu. Alasan yang sangat naïf sekali. Tanda keegoisanku. Kini, semua keegoisan itu luluh lantak. Luluh pada kenyataan yang harus aku hadapi.Inilah bukti kekuasaanNya, Dia tidak menginginkanku untuk menjadi seorang yang tinggi hati. Dengan sekejap, Dia bisa mengubah semua kejadian di alam semesta ini. Tidak terkecuali dengan perjalanan kehidupanku kini.

Dialah yang menetukan semua jalan yang akan dilalui setiap makhluk dalam mengarungi kehidupan ini. Dengan tekad bulat kujalani kehidupanku di Jogja. Cobaan demi cobaan aku lalui dengan ikhlas, aku ingin mengaplikasikan Dey dalam kehidupanku. Jilbabku yang dulu hanya standar, kini sedikit demi sedikit aku ulurkan. Aku mulai ikut bergabung dengan lembaga dakwah di kampus. Kini aku telah resmi menjadi seorang mahasiswa. Aku mengambil kuliah di Fakultas Psikologi, Universitas Ahmad Dahlan. Sosok Dey selalu lekat dalam ingatanku, walaupun novel itu telah raib. Entah dimana keberadaannya sekarang. Aku ingin menjadi seorang psikolog islam yang mampu membangkitkan jiwa-jiwa umat ini. Aku ingin ummat ini, bangsa ini mempunyai jiwa yang positif. Ummat yang selalu berkeinginan untuk maju dan terus berkarya.

Dakwah bukanlah sekedar kewajiban, namun juga pilihan. Dakwah bukanlah semata-mata lahir dari relung hati, tabiat, bakat kemanusiaan saja. Ia juga diyakini sebagai hidayah dari Allah. Deeg… bagai terhantam ribuan ton batu, hatiku bergetar hebat saat membaca kalimat ini. Inilah paragraph pertama dalam buku ‘Untuk Muslimah Yang Tidak Pernah Lelah Berdakwah” karangan suami-istri yang luar biasa, yang  mengedepankan dakwah islamiyah dalam hidupnya, pasangan Bapak Umar Hidayat dan Ibu Rochma Yulika. Buku yang diterbitkan oleh penerbit Uswah ini juga menjadi pengisi kekuatan dan kemantapanku dalam berdakwah. Menjadi muslimah dakwah?? Siapa takut?? Banyak tantangannya lho?? Ok, keep spirit.

Buku ini mengingatkan bagaimana para muslimah dakwah berjuang demi tegaknya islam di bumi ini sampai Allah memanggilnya. Sungguh, aku belum ada apa-apanya dibandingkan mereka. Aku bahkan belum melakukan hal baru untuk ummat ini. Selama ini aku hanya memikirkan diriku sendiri. Bagai embun pagi yang menyejukkan kalbu, buku ini hadir saat aku benar-benar membutuhkan pijakan dalam menjadi seorang daiyah.

Subhanallah, Allah memang telah menyiapkan semuanya. Lewat buku ini –Untuk Muslimah yang tidak pernah lelah Berdakwah- aku semakin yakin untuk menapaki kehidupan. Kuniatkan seluruh hidup ini untuk perjuangan, perjuangan demi tegaknya kalimah Allah di bumi ini. Selamanya. Sebenarnya buku muslimah dakwah bukanlah milikku, buku ini adalah kepunyaan seorang sahabatku, sahabatku yang bersama-sama mengarungi kehidupan dakwah di Jogja. Buku ini menerangkan hakikat dakwah, dakwah tidak hanya sekedar menyampaikan risalah keagamaan, melainkan, dakwah adalah menyeru kepada seseorang untuk berbuat baik dan kita juga harus sudah melakukannya. Bukan sebaliknya, menyeru kepada orang lain untuk melakukan kebaikan, tetapi kita tidak melakukannya, seperti yang dilakukan oleh para ahli kitab. Allah menjelaskannya dalam QS Al Baqarah (2) : 44.

Bapak dan Ibu Umar, menjelaskan juga pentingnya manajemen tawazun dalam diri muslimah dakwah. Pengaturan jadwal harian sangatlah penting. Tawazun juga penyatuan dari tiga segmen utama dalam diri seorang muslimah dakwah, ruhaniyah, jasadiyah, dan fikriyah. Dengan pengelolaan dari tiga aspek ini, diharapkan muslimah dakwah menjadi daiyah yang produktif.

Ya Allah, hanya kalimat tasbih, tahmid, dan tahlil yang bisa hamba ucapkan. Subhanallah wal Alhamdulillah wa laa ilaha illaallah. Engkau telah menghendaki hamba hidup di lingkungan orang-orang yang paham akan makna dakwah. Bapak, ibu yang selalu mengingatkan pentingnya dakwah. Bahkan sebelum aku mengenal betapa pentingnya keberadaan dakwah itu.

Bismillahirrahman nirrahiim, kuyakinkan diri untuk mantap menapaki jalan dakwah ini. Tidak ada waktu untuk berpangku tangan. Umat ini telah menunggu uluran tangan-tangan dakwah.  Walau badai menerjang, walau badai mengguncang, walau petir menggelegar, takkan surut langkah menuju ke hadapan. Allahu akbar, kumulai langkah baru dalam pembaharuan…. Ridho Allah dan RosulNya adalah tujuan dakwah ini.

Jogjakarta, 24 november 2010

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More