Kamis, 13 Januari 2011

Meniti Ukhuwah di Jalan Pelangi

Oleh: Julia Sarah 

"Ngomongin ukhuwah melulu yah? Kok aku ga ngerasain yah?”

Sebaris kalimat itu belum lama ini menjadi uraian panjang dalam milis organisasi yang saya geluti. Kami ribut mempertanyakan ukhuwah. Seolah kebersamaan nyaris satu tahun lamanya ini tak mampu menjawabnya. Lalu, perlahan, satu per satu di antara kami mengalami “muntaber”, mundur tanpa berita.

Ya. Dalam sebuah organisasi, mungkin ini hal sudah menjadi biasa. Ramai dan menggebu di awal kepengurusan, lalu terlempar-lempar entah kemana, hilang tak berjejak. Hingga di akhir kepengurusan, hanya tinggal segelintir orang yang berpayah-bayah menjalani mimpi yang dirangkai bersama di awal tahun itu.

Maka wajarlah jika saat paruh kedua kepengurusan, rasa penat itu menyelusup. Bukan karena bosan, hanya perasaan “tersendiri” menjalani amanah itu bertiup-tiup melemahkan semangat yang ada. Gentar! Seolah tak ada yang membersamai langkah.

Yang menjadi barisan inti merasa telah begitu kelu lidahnya meminta bantuan pada rekan-rekan satu bidang. Jari-jari tangan pun kebas, lelah menjarkom. Namun, tiada balas. Tiada respon. Hanya terdengar gaung dari suara hati sendiri.
Sedang para staf, beberapa merasa bingung, mau di bawa kemanakah perjalanan ini? Beberapa lagi mungkin bosan. Bagaimanalah? Tiap mendapat jarkom hanya diberi “kerjaan” saja, tak ada hak-haknya yang dipenuhi.

Maka tinggallah hari-hari sunyi dalam keributan gerak yang luar biasa. Sayangnya, dalam kesunyian itu, hati kami tak henti menjerit. Amanah-amanah yang entah ke mana penanggungjawabnya diambil alih. Serobot sana. Tambal sini. Yang terpaksa memikul amanah saudaranya yang “menghilang”, bersungut. Entah, mungkin lupa akan nilai keikhlasan. Sedang yang amanahnya “diambil”, marah. Merasa tak dihargai.

Jadilah ukhuwah itu, untuk sebagian orang, terasa basi. Saat pertemuan-pertemuan hanya membahas amanah. Tanpa tanya kabar. Tiada sapa. Yang ada hanya kesibukan, berusaha melakukan yang terbaik untuk tiap-tiap amanahnya. Lupa, bahwa bersatu dalam atap organisasi harusnya paham bertul konsep amal jama’i.

Para “petinggi” dalam organisasi itu bingung. Mencari siasat agar kesenyapan ini berganti dengan kehangatan. Ada apa sebenarnya? Mengapa banyak yang timbul-tenggelam? Hilang tanpa kabar, tanpa berita, apalagi cerita.

Maka dilakukanlah berbagai cara. Untuk kembali merapatkan barisan, katanya. Makan-makan, jalan-jalan, foto-foto, menulis puisi, memberi tausiyah, tuker kado, masak bersama, sampai meniup balon dan bermain dengan permainan gaya anak SD pun dilakukan. Tiap-tiap pengurus mendapat “tugas” masing-masing untuk membuat acara. Acara yang dapat menyatukan hati kami kembali ketika beberapa saat sempat menepi. Acara yang dapat menyenangkan, meneduhkan, dan meng-explore keinginan para saudara-saudari untuk kembali merasai nikmatnya berdakwah di organisasi ini.

Lalu, perlahan tapi pasti senyum-senyum itu kembali. Wajah-wajah penuh gairah itu mulai tampak. Meski lelah, meski letih, namun kembali meyakini bahwa Allah senantiasa membungkus kekuatan saat mengirimkan amanah ini ke pundak kami. Menyadari bahwa waktu yang kami miliki untuk menyelesaikan amanah ini tak banyak lagi. Menginsyafi diri, bahwa selama ini tak pernah ada saudara yang pergi, hanya sedang tak ingin berbagi.

Kini, kami kompak menyepakati: hanya ada dua pilihan, terus bersungut-sungut tanpa melakukan apa-apa atau melakukan yang terbaik hingga mengecap khusnul khotimah. Dan kami memilih yang kedua. Sebab kami bukanlah para pecundang yang memilih untuk melangkah pergi. Di sini, di jalan pelangi, kami ingin menitinya bersama hingga usai.

Di tengah kejengahan saya berada dalam posisi ini, saya mendapat sebuah buku dari seorang saudari. Dalam Dekapan Ukhuwah judulnya. Pas! Sungguh tepat hadirnya bagi saya. Tanpa banyak kata, saya melahapnya. Menikmati tiap kata yang ditorehkan Salim A. Fillah. Merasa malu pada diri sendiri. Selama ini, mungkin lebih banyak meminta daripada memberi untuk saudara-saudari. Lebih banyak menuntut daripada melapangkan dada. Lebih sering ingin dimengerti daripada mencoba untuk mengerti. Lebih sering ingin didengar daripada mencoba untuk mendengar. Sungguh, dalam dekapan ukhuwah, saya menemui banyak arti.

Seperti yang tertoreh Dalam Dekapan Ukhuwah, mungkin tepatlah uraian kalimat Salim A. Fillah berikut.
saat ikatan kita melemah,
saat keakraban kita merapuh
saat salam terasa menyakitkan,
saat kebersamaan serasa siksaan
saat pemberian bagai bara api,
saat kebaikan justru melukai
aku tahu, yang rombeng
bukan ukhuwah kita
hanya iman-iman kita yang
sedang sakit, atau mengerdil
mungkin dua-duanya,
mungkin kau saja
tentu terlebih sering, imankulah
yang compang-camping.

Maka dalam dekapan ukhuwah, saya belajar mengerti. Bahwa bukan “akusebaiknya mengikuti kamu” ataupun “kamu yang harusnya mengikuti aku”, sebab tiap orang memiliki potensi tersendiri. Layaknya Rasululloh Saw. yang tak pernah meminta Abu Bakar nan lembut menjadi garang seperti ‘Umar. Pun sebaliknya, tak menginginkan ‘Umar yang keras menjadi lembut seperti Abu Bakar. Maka, dalam dekapan ukhuwah, bukanlah menuntut diri agar diteladani, tapi jadilah teladan sunyi. Teladan yang tak bersyarat dan membawa damai yang mampu kekal diteladani sepanjang masa. (Salim. A. Fillah, Dalam Dekapan Ukhuwah)

Masih dalam dekapan ukhuwah, saya belajar memahami, bergurulah pada para sahabat Rasululloh Saw. sebab mereka adalah sebaik-baik generasi. Belajarlah tetap istiqomah dan ikhlas. Seistiqomah para Muhajirin yang melangkah pergi meninggalkan segala kecintaannya di Mekah demi menegakkan agama-Nya semata. Serta seikhlas para kaum Anshar yang membagi dua segala yang mereka miliki. Maka, dalam dekapan ukhuwah, hanyalah ketaatan dan kecintaan pada-Nya yang mampu menyatukan hati.

Dan saya tersadar, bahwa ukhuwah bukanlah obralan kata, “Aku mencintaimu karena Allah” semata. Tapi, ia adalah keistiqomahan doa yang terpanjat untuk saudara kala sujud-sujud panjang itu terlaksana. Tak hanya senyum tulus yang mampu menenangkan hati, tapi juga uluran tangan untuk saling berbagi. Tak hanya banyaknya kata-kata tausiyah yang diberi, tapi juga tindakan nyata untuk saling melengkapi. Tak hanya menuntut hak pada saudara, tapi juga menunaikan kewajiban kita pada mereka. Lagi-lagi, dalam dekapan ukhuwah, saya menemui banyak arti.

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More