Rabu, 12 Januari 2011

Cerita Tentang Kebersamaan

Oleh: Dwi Purnawan 

"Suatu hari nanti saat semua telah menjadi masa lalu, aku ingin berada di antara mereka, yang bercerita tentang perjuangan yang indah, dimana  kita, sang pejuang itu sendiri. Tak pernah kehabisan energi tuk terus bergerak, meski terkadang godaan tuk berhenti atau bahkan berpaling arah begitu menggiurkan”

Selasa dini hari (30/11), Kampus Sekaran nampak sepi, gelap, dan dingin, persis seperti kuburan. Hanya dibeberapa tempat masih lumayan ramai, seperti dikucingan atau di tempat – tempat strategis untuk nongkrong lainnya. Begitu juga dengan mata ini, walaupun kondisi badan agak lelah karena seharian melakukan perjalanan jauh, namun belum juga bisa tidur. Dan akhirnya mata ini tertuju pada buku putih bercorak hijau yang sepertinya sudah agak lama tidak kubuka lagi. Sembari membuka si layar ajaib, kubuka halaman demi halaman buku itu, buku yang cukup menginspirasiku untuk tetap bergerak, buku Saksikan Bahwa Aku Seorang Muslim. Lalu sejurus kemudian ingatanku melayang ke masa lalu, beberapa tahun yang lalu, saat diri ini pertama kali menginjakkan kaki di kampus Unnes, kampus yang dulunya terkenal karena biaya masuknya yang murah. Dan mengingat kembali akan masa datangnya cahaya hidayah itu, hati ini terasa rindu sekali berada pada masa itu. Rindu pada sosok yang ketika itu, empat tahun yang lalu, hanyalah seorang pejalan kaki, memakai sandal, bertemankan tas kecil yang butut, kemana – mana membawa mush’af, dan buku kecil yang bertuliskan arab juga dengan tanda panah – panahnya. Sekilas, tak ada yang istimewa dengan penampilannya, rambutnya lusuh dan beberapa sudah memutih, matanya nampak sayu pertanda memang dia dalam kondisi lelah, jaketnya kumal dan jahitannya sudah mulai pudar karena sudah sering dipakai. Pun demikian dengan kondisi akademiknya. Dia adalah mahasiswa semester tua, sudah sebelas semester dia berada dikampus ini, yang berarti secara akademik juga tidak menonjol.

Setiap pekan, sebelum jam delapan malam, dirinya selalu sabar dan setia menunggui kami di pojok masjid kampus, ditemani lampu yang tak terlalu terang, lalu setelah satu demi satu hadir, dimulailah acara itu. Sebuah lingkaran kecil dengan enam orang peserta dan satu pemandu. Dengan sabar dan tekun ia sampaikan materi demi materi setiap pekannya. Urut. Dan menurutku, ia adalah orang yang paling sabar yang pernah kutemui dikampus ini. Yang dengan telaten membimbing kami, yang masih penuh dengan lumuran kekotoran dan kegelapan jahiliyah, untuk kemudian membimbing kepada cahaya hidayah Allah. Walaupun kadang, dan bahkan sering adanya kami membuat beliau kecewa, dating telat, pada saat acara sering ngantuk, dan lain sebagainya. Tetapi sekali lagi, beliau tetap tidak marah. Tetap sabar dan telaten mengajari kami tentang islam secara syumul. Ah, aku rindu orang ini. Aku rindu sentuhan lembutnya ketika membangunkan pada saat kami tertidur disela – sela materi disampaikan. Aku rindu suara halusnya ketika mengingatkan kepada kami “Akhi, mengingatkan sekarang jadwalnya liqo ya. Ditunggu di Masjid Salman”, ujarnya lembut. Aku rindu bersama dengannya. Rindu ketika kami asyik bermain kano dan saling balapan ria. Dia adalah guru pertamaku. Yang membimbing menuju hakikat muslim sejati. Semoga engkau dalam lindunganNya selalu, ustadz.

Tak terasa air meleleh dipipi ketika mengingat itu semua. Ya, kebersamaan. Atau bahasa kerennya adalah ukhuwah. Persaudaraan. Kebersamaan dalam persaudaraan yang berlandaskan iman selalu indah. Seperti yang diungkapkan dengan bahasa yang lembut dan mengalir olehUstadz Salim A Fillah dibukunya, Saksikan Bahwa aku seorang Muslim, yang juga sedang kubaca hari ini, bahwa keimanan benar – benar telah mengikat hati para hamba Allah dalam kasih sayang yang menggetarkan. Ini bukan lagi ikatan – ikatan semu : darah, kabilah, kewilayahan, ras, dan warna kulit. Islam memproklamasikan sebuah majelis mulia yang disana duduk mesra Abu Bakar bangsawan Arab, Shuhaib imigran Romawi, Salman Pengembara Persia, dan tentu juga Bilal, bekas budak Negro Habasyah. Selalu indah kebersamaan bersama orang – orang beriman, seperti kata salah satu teman dalam tulasannya di jejaring sosial, persaudaraan itu sebening prasangka, sepeka nurani, sehangat semangat, senikmat berbagi, sekokoh janji. Dan memang benar adanya, kebersamaan dalam bingkai keimanan akan selalu indah, nikmat, karena didalamnya sudah tersemai bibit keberkahan dalam do’a – do’a ukhuwah yang dilantunkan setiap pagi dan petang. Begitulah kebersamaan.

“ sesungguhnya orang – orang yang beriman dan beramal shalih, kelak Ar Rahman akan menanamkan dalam hati mereka rasa kasih sayang.” (Maryam 96)

Ya, bersamaan dengan kata – kata yang mengalir indah di buku tersebut, memori ini kembali terbang ka masa lalu, saat dimana pertama kali berjumpa dengan wajah – wajah lelah namun memancarkan cahaya keikhlasan. Ya, bersama orang – orang itu, bersama dalam naungan jalan dakwah ini serasa begitu indah. Teringat saat malam – malam, dini hari, disaat yang lain terlelap tertidur, justru kami, bersama beberapa orang yang ternyata juga baru kukenal belum lama, mempersiapkan sebuah baliho besar dengan wajah orang yang juga belum kukenal, wajah seorang calon presiden Mahasiswa rupanya. Dan aku, bersama bebeberapa teman yang lainnya, yang mayoritas adalah kakak – kakak angkatan, mulai kemudian memasang satu demi satu bagian baliho, dari membuat kerangka dari bamboo, kemudian menempelkan baliho diatas kerangka yang sudah terbuat, kemudian memaku dengan kencang sampai kelihatan membentang. Lalu kemudian beberapa orang mengangkat dan mulai memasang di sudut kampus. Pertama yang kulakukan hanya diam dan mengutuki ini semua, seharusnya waktunya untuk tidur, tapi mengapa harus bangun dan harus pula memasang baliho yang besar ini, begitu gerutuku dalam hati. Namun ternyata, setelah melihat kesungguhan dan keseriusan, serta sesekali pekikan takbir memecah keheningan malam, akupun turut terlarut dalam kesemangatan mereka. Begitu seterusnya. Selama beberapa malam, kamipun selalu menjelajah kampus untuk memasang media, baliho, famplet – famplet, stiker – stiker dan lan sebaganya. Ketika itu, pada waktu masang famplet disudut kampus, kami kehabisan lem, sehingga dengan sangat terpaksa harus mengambil lem yang kebetulan PJ pembuatnya adalah akhwat. Dan kamipun dengan sangat terpaksa, diwaktu dini hari, harus mengambil kekos akhwat dan sedikit melanggar aturan jam malam. Tak apalah, begitu akhirnya kami menyimpulkan, toh ini juga demi tujuan mulia kita. Lalu setelah itu kami berkoordinasi dengan beermusyawarah menentukan langkah selanjutnya. Dan akupun lebih banyak diam, hanya menyaksikan mereka beradu argumen satu sama lain dengan tetap menjaga adab – adab kesyar’ian. Dan seperti inilah ukhuwah mengajarkan kita untuk lebih banyak member daripada meminta. Member semaksimal potensi yang kita miliki tanpa meminta banyak. Dan akhirnya setelah mengetahui jerih payah kami setiap malam memasang media, lalu berlanjut paginya melakukan kampanye dari rumah kerumah, berbuahlah kemenangan yang memang menjadi tujuan kami, atau lebih tepatnya wasilah bagi tujuan mulia ini. Aku hanya turut senang meihat wajah – wajah lelah itu saling berpelukan dan sesekali meneteskan airmata. Lalu dalam hatipun aku mengucapkan, Barakallahu Laka, bahagianya kami. Dan begitulah kebersamaan bersama orang – orang beriman, dengan misi mulia, tujuan mulia, yang melahirkan perjuangan super heroic dalam rangka menggapai keberkahan Allah Azza wa Jalla. Tidak seheroik perjuangan Bilal ketika disiksa oleh tuannya memang, tidka seheroik sekelompok pasukan Badar saat menghancurkan ribuan kaum Musyrikin Quraisy memang, tidak seheroik Khalid Bin Walid dan pasukaannya ketika memimpin peperangan memang, namun setidaknya, kekuatan sebuah kebersamaan akan tetap indah, nikmat, dan selalu mengundang kerinduan bagi kami, atau setidaknya bagiku.

“Perumpamaan orang – orang beriman dalam cinta mencintai, saying menyayangi, dan bantu membantu diantara sesamanya laksana sebuah jasad. Apabila salah satu bagiannya sakit, yang lain tiada bisa tidur dimalam hari, dan menggigil demam.” (HR Muslim, dari An Nu’mam Ibn Basyir)

Cerita tentang kebersamaan bersama orang – orang beriman, masih menghiasi lamunanku hari ini. Ada sebuah kalimat yang sangat menginspirasi dari petikan kata penuh makna Ustadz Salim A Fillah, tentang hati Anas bin Malik yang berbunga – bunga ketika mendengar kalimat yang diucapkan Rasulullah. Yakni kalimat bahwa seseorang akan bersama dengan yang dicintainya di akhirat nanti. Kata Anas, “Aku bisa berharap untuk membersamai Rasulullah, Abu Bakar, dan ‘Umar di surga nanti. Karena, meski amalanku tak sebaik amalan mereka, tetapi aku sangat mencintai mereka…” Ah indahnya dalam naungan ukhuwah dan mencintai saudara seiman.

Pun demikian denganku. Suatu ketika dalam forum melepas kerinduan bersama saudara – saudara tercinta, dalam forum pekanan, saat yang dimana adalah penantian bagi sebagian aktivis dakwah, namun justru hanya rutinitas biasa bagi aktivis dakwah yang lain, saat dimana kami, dengan bersebelas orang mendengarkan materi dari ustadz tercinta. Dengan ditemani semangka, gorengan, segelas teh hangat bermerek ukhuwah karya saudara tercinta, kami mulai mendengarkan sang guru menyampaikan materi sambil sesekali menikmati hangatnya teh ukhuwah. Kebetulan materi malam itu adalah ukhuwah. Tepat sekali ketika dibincangkan di tulisan ini. Saat mendengarkan materi, sambil sesekali melihat wajah saudara tercinta, ada yang matanya memerah karena kecapekan, ada yang teklak – tekluk, karena mengantuk, ada yang dengan seriusnya mendengarkan, hingga tak terasa matanya terpejam, ada yang enyam – senyum sambil sesekali memegangi HP melihat ada sms masuk atau tidak, ada yang dengan baju rapi, berkopiah, tetap serius mendengarkan materi dari sang pemandu, dan berbagai keunikan  – keunikan lainnya yang membuat bibir ini tak kuasa untuk menahan senyum.

Lalu singkat cerita, materi malam itu selesai, setelah membaca do’a Rabithah, seperti biasa kami pun berpelukan satu sama lain. Dan tak lama berselang setelah sampai dikos, HP berdering dan ada sms masuk sebelum mata ini terpejam. SMS itu dari saudara selingkaran. Bunyinya “Ana Ukhibuka Fillah…”, dan seterusnya. Ya, ukhuwah menurut kami dan beberapa teman kami, saat membersamai dalam satu lingkaran itu, adalah saling siram menyiram, dorong – mendorong dalam derasnya air terjun Semirang, Ungaran. Lalu kemudian makan bakso di pinggir jalanan Ungaran dengan ditraktir sang ustadz. Lalu selanjutnya saling memberikan pesan sms, Ana Ukhibuka Fillah, saya mencintaimu karena Allah. Lalu selanjutnya saling bercerita dari hati kehati, menceritakan hal yang paling menonjol yang dimiliki saudaranya. Lalu setelah hal yang menonjol itu diceritakan, tersipu dan memerahlah wajah si fulan sambil sesekali memukulkan botol minuman mineral di kipas angin. Lalu selanjutnya kita dengarkan kata – kata bijak dari orang bijak ini memaknai ukhuwah, atau kebersamaan. Bersama orang – orang beriman.

“Allah ‘Azza Wa Jalla berfirman, “Mereka yang saling mencintai karena keagunganKu mempunyai mimbar – mimbar dari cahaya yang diinginkan oleh Para Nabi dan para Syuhada” (HR At Tirmidzi dari Mu’adz ibn Jabal)

Ingin rasanya aku kembali ke masa itu, kembali membersamai saudara – saudara tercinta, kembali merasakan nikmatnya kebersamaan dalam perjuangan, rindu kembali membersamai sosok yang telah mengajarkan kepadaku tentang arti sebuah kesabaran, keikhlasan, kesungguhan, komitmen, konsistensi, kesemangatan dalam berjuang menyeru kepada kebaikan. Dan memang kebersamaan tersebut telah menjadikan satu kenangan terindah yang tidak akan pernah kulupakan. Dan aku hanya bisa berdo’a kepada Allah, semoga keistiqomahan dalam perjuangan ini selalu mengiringi langkah – langkah mereka saat ini dan seterusnya, selamanya. Kalau dulu mereka adalah para pejuang – pejuang tangguh yang rela mewakafkan diri sepenuhnya untuk berjuang di jalan Allah, semoga saat inipun mereka tetap tangguh, dan lebih tangguh dalam berjuang. Dan kitapun nanti semoga, berjumpa kembali dan melepas kerinduan yang mendalam itu di surganya Allah Arrahman. Tentu saat ini walaupun fisik ini berjauhan, tetapi ikatan yang bernama ukhuwah ini akan tetap terpateri dalam hati yang terdalam, akan tetap terukir indah dalam pahatan peradaban. Dan sebentar lagi, hasil yang telah disemai dahulu, walaupun kecil, akan segera kita nikmati hasilnya, dengan kekuatan kebersamaan, walaupun jauh, tetapi aura kemenangan akan senantiasa terpancar seiring gerak langkah kaki kita. Islam akan tegak dengan setegak – tegaknya, dan ternyata saudaraku, itu adalah salah satunya perjuangan engkau, walaupun kecil, hanya membina, tetapi itu berarti engkau telah mempersiapkan generasi terbaik untuk kejayaan Islam.

Cerita tentang kebersamaan masih belum usai. Cerita tentang hangatnya ukhuwah masih akan terus berlanjut. Cerita tentang membersamai dalam perjuangan, merenda dan memintal benang – benang peradaban bersama orang – orang yang ikhlas membawa misi ini, masih akan terus berlanjut sampai kapanpun. Karena setelah kita memaknai bahwa bersama itu adalah bersaudara, kebersamaan yang penuh dengan energi persaudaraan dan getaran cinta akan memuliakan dirinya, selanjutnya bersama artinya berjuang bersama – sama dalam ikatan akidah yang selanjutnya mengikrarkan sebuah perjuangan mulia menegakkan akidah itu. Akupun jadi berfikir, kalau orang – orang yang mempunyai akidah muslim ini bisa bersatu, maka tidak akan ada lagi ketakutan – ketakutan melawan cengkeraman pengaruh Yahudi laknatullah alaihi. Dan inilah yang kemudian ditakutkan oleh Yahudi, yaitu orang – orang muslim itu menghimpun kekuatan dalam nanungan cinta dan ukhuwah. Dan ternyata itu sangat sulit setidaknya sulit buatku, karena untuk mencapai tahap itu kitapun sepertinya harus melewati fase awal dari perjuangan, yakni melawan nafsu diri agar mampu bersabar dalam kebersamaan. Dan untuk selanjutnya, biarkan ukhuwah yang akan menuntun kita, aku, engkau dan semua yang menhadirkan cinta dalam hati terhadap saudara seiman ketangga kemuliaan yang tertinggi, yang akan memuliakan kita dan membuat hidup kita lebih ceria. Karena kebersamaan dalam persaudaraan itu sebening prasangka, sepeka nurani, sehangat semangat, senikmat berbagi, sekokoh janji. Diakhir tulisan ini, sebagai pengiring dalam kebersamaan yang indah, mari kita bersenandung dengan merdunya suara dari brother, untukmu teman. Semoga kebersamaan ini akan tetap abadi, dan akan menjadi cerita indah suatu ketika, antara aku, dan engkau, wahai saudaraku di kampus konservasi Unnes.

Disini kita pernah bertemu
Mencari warna seindah pelangi
Ketika kau menjulurkan tanganmu
Membawaku ke daerah yang baru
Dan hidupku kini ceria
(Brothers : Untukmu Teman)

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More