Rabu, 12 Januari 2011

Sebuah Jejak Penggapai Bintang

Oleh: Hadi Hidayat

Sempat terfikir dalam benak untuk menjadi seorang arsitek, ketika duduk di bangku SMA di pondok pesantren. Akan tetapi ketika itu seorang lelaki tegar, yang sudah mulai memutih rambutnya dimakan usia, bersama wanita pujaannya mengendarai motor menuju ke tempat dimana aku menjalani derap langkahku menjadi seorang mujahid muda harapan kedua orang tuaku. Inilah yang disebut tradisi Mudif, itulah sebutan kami para santri pondok menyebutnya. Merekapun menghampiri dan memeluk erat tubuhku dengan penuh hangatnya cinta. Kali itu merupakan hari terakhirku mengamban tugasku sebagai seorang santri, tapi bukan menjadi yang terakhir bagiku sebagai seorang mujahid penggapai bintang Islami. Di hari itu pula merupakan hari bersejarah dalam hidupku. Prosesi perpisahan wisuda berlansung. Kutemukan sebuah makna persahabatan diantara kami para penghuni penjara islam, itulah sebutan segelintir temanku yang terkadang merasa jenuh di sana, merasakan hal yang tak biasa kami rasakan. 

Hatiku cukup tenang setelah semua berakhir, namun saat itu bukan merupakan akhir dari tapak jejakku mengarungi dunia hidup ini. Inilah yang sebenarnya akan kuhadapai, satu kehidupan nyata yang tak sedikit orang mampu mengarunginya. 

IPB, di sanalah namaku telah tercantum menjadi seorang Mahasiswa dan Mahasantri. Ku amat mengetahui potensi yang ada dalam diriku saat itu. Namun semua harus kujalani menjadi seorang Mahasiswa Gizi Masyarakat, dimana semuanya cukup menguras fikiranku. Tahu kenapa? Kuteringat dengan citaku dahulu, menjadi seorang arsitek, dengan dasar Fisika dan Matematika. 

Kujalani semua dengan istiqomah, kuhanya berdoa, semoga ini menjadi washilah terbaik menuju jalan-Mu ya Rabb. Di awal studi, ku mulai terbiasa dengan rutinitas yang harus kujalani setiap harinya sejak sang ayam berkokok dengan gagahnya, hingga sang Penguasa cahaya menutup dirinya. Hari terus berlalu begitu cepat, tak terasa telah diujung akhir semester pertamaku studi menjadi seorang calon Ahli gizi, begitulah rekan-rekanku menyebutnya. Di awal perjalanan ku berijtihad kuat sebagai seorang muda, hingga itu semua dapat kubuktikan dengan coretan nilai-nilai yang tertera di papan pengumuman yang kulihat walau tak sesempuran harapanku. Tapi ku cukup bangga dengan hasil kerja keras ku. 

Awal januari 2010, ketika itu masih jelas dalam ingatanku. Dipertemukan dengan seorang kakak kelas yang luar biasa dalam perjuangan hidup. Semakin hari ku mengerti perjalanan hidupnya. Tak begitu jauh sama dengan apa yang kujalani ketika itu. Ku mulai belajar banyak tentang arti dari sebuah perjuangan hidup. Aku pun mulai mengerti, diriku yang merupakan anak pertama, yang menjadi tombak bagi keluargaku di sana. Dengan segala daya dan upaya, aku berusaha untuk tetap bertahan hidup sendiri saat masa studi ku ini. Bukan menjadi sebuah alasan, bahwa keluargaku tidak cukup untuk membiayai hidupku saat ini, aku masih memiliki dua orang adik-adik ku yang lebih berhak menerima penghasilan orang tuaku yang cukup minim. Mungkin ini yang dinamakan jalan menuju tarbiyah Allah kepada ku. 

Terbersit terkadang dalam fikiranku melihat teman-temanku menikmati segala kebutuhan yang mereka dapatkan, tapi dalm hatiku tetap ada sebuah keyakinan besar. Kuingat kata-kata emas dalam buku yang ketika itu diberikan kakak kelas ku itu yang berjudul “MOTISAKTI (Motivasi yang bikin kamu sakti)” karangan Zen El-Fuad. Tertulis “Jika kita ingin menjadi orang besar, maka Allah akan memaketkan kita dengan masalah-masalah yang besar.” Jika kita ingin mendapatkan seekor ikan paus, maka tantangan yang akan kita hadapi adalah samudera, bukan selokan, walaupun ditambah dengan dzikir dan berdoa dengan khusu, tapi jika kita tak mampu dan tak mau menghadapi masalah-masalah besar itu, maka semua akan nihil. 

Sejak saat itu ku beranikan diri untuk menyisihkan sebagian waktuku disela-sela kesibukanku melakukan rutinitas sebagai seorang pelajar dengan hal-hal lain. Tak dapat dipungkiri memang, semua kujalani sekaligus menambah uang pemasukanku untuk hidup di sini. Aku pun mencoba dengan memulai sebuah bisnis MLM yang diperkenalkan oleh kakak kelas ku. Beberapa bulan kujalani dengan penuh semangat. Tapi, ada makna lain yang tersirat yang telah kudapatkan. Tanpa kusadari ku telah belajar banyak akan artinya berbisnis di sana. Hingga ahkirnya ku merasa nyaman didalamnya. 

Indra prima, itulah nama keren kakak ku di kampus. Seorang Trainer dan motivator, dengan perjuangan hidup yang cukup sulit untuk dijalani sebagai seorang mahasiswa. 
Semakin dalam kupelajari semua hal yang berkaitan dengan mencari uang. Karena ketika itu, aku memiliki cita-cita terbesarku adalah memberangkatkan ibu dan bapakku ke Tanah Suci. Hingga akhirnya ku merasa pemasukan keuangan ku mulai menipis, karena kebutuhanku yang semakin bercabang. Ku mulai dengan aktivitas baru yaitu mengajar bimbel privat. Berjalan beberapa bulan, kumerasakan tubuhku ini seperti akan remuk tertempa angin besar menjalani semua aktivitasku yang begitu berat kurasa saat itu. Tapi saat kurasa semua amat berat. Kuteringat kata-kata dalam buku itu. Bahwa ketika kita masih dalam zona kenyamanan kita, maka kita tidak sedang melakukan perubahan. Ketika itu ku rasa zona nyamanku mulai menghilang, dan ku berada pada sebuah tempat dimana aku menghadapi balatentara besar yaitu nafsu dan berbagai macam keinginanku. 

Hingga akhirnya Allah mempertemukan ku dengan seorang guru, beliau pun sekaligus guru dari kakak kelasku. Kang Zen, panggilan orang-orang kepada beliau. Penulis buku-buku motivasi sekaligus Trainer di bidang spiritual. Ku belajar banyak dari beliau akan arti perjuangan hidup. Diawal tahun 2010, posisiku yang masih dalam kelabilan sebagai seorang pemuda yang masih berkeinginan untuk bersenang-senang dan berfoya-foya menikmati masa muda, itulah kata-kat yang sering kudengar dari teman-temanku.

Saat itu ketika pertama kali ku ditawarkan untuk menemani beliau mengisi training di sebuah sekolah yang berada di kawasan Jakarta Timur. Ku pelajari semua, dan ternyata saat itu merupakan puncak dari semua kelabilanku, kusadari bahwa semua yang telah kulewati sebagai seorang anak muda harapan keluargaku, begitu tak berarti apa yang telah kuperbuat. 
Ternyata benar apa kata orang, jika kita ingin menjadi wangi, maka seringlah bergaul dengan tukang minyak wangi, dan jika ingin menjadi orang jahat, bergaul dengan orang yang sering melakukan kejahatan. Semakin lama ku belajar dan bersosialisasi dengan orang-orang yang luar biasa dalam hal hidup, sedikit demi sedikit ku belajar dari mereka semua.

Kini perubahan besar harus kulakukan walau semua butuh perjuangan keras melawan semua kebiasaan-kebiasaanku. Ku mulia dari penampilan dan gaya berbicaraku. Karena itulah yang menjadi sorotan pertama sebelum orang mengenal ku lebih dalam. Sungguh ku merasakan ketidaknyamanan yang luar biasa. Akan tetapi kucoba untuk istiqomah. Layaknya seekor ular yang sedang merintih sakit ketika proses pergantian kulit, bagai kepompong yang awalnya sedikit yang melirik dan menyukainya, tetapi dengan proses metamorphosisnya kini menjadi seekor hewan yang disenangi dan bahkan dirawat oleh banyak manusia. Itulah aku, seorang pemuda yang sedang dalam proses metamorphosis dalam segala hal hidupku. 

Ketika kamu menemukan bebatuan masalah yang ada dalam sela hidupmu, maka yakinlah di depan sana akan kamu temukan jalan kemenangan penuh cahaya kesuksesan. Itulah pesan yang selalu ku ingat dari guruku. 

Saat itu aku yang sedang mendapatkan tanggung jawab dalam sebuah acara besar di IPB, menjadi seorang koordinator acara tersebut. Bukanlah hal yang ringan bagiku, untuk seorang yang terbilang pemula dalam hal kegiatan kampus besar. Ketika itu malam sebelum esok acara akan berlangsung, semua panitia bak pasukan besar yang siap menghadapi apaun lawan yang ada di hadapan. Semua persiapan perang telah dalam genggaman. Malam telah larut, aku dan semua bala tentara panitia lainnya seusai persiapan kembali ke kediaman masing-masing. Malam begitu larut, perjalananku menuju kerajaan tercintaku ditemani teriakan jangkrik malam yang begitu merdu, serta rintihan kelopak mataku yang terus memintaku untuk menutupnya. Tiba di kediaman, kutemukan semua sahabat karibku telah terhampar lepas dalam mimpi. Begitupun diriku yang tak kuasa menahan rasa kantukku ketika itu. Semua terhampar lepas dalam dinginnya malam. 

Semua bangun... Teriak sahabat ku membangunkan seisi kerajaan rumahku, kulihat jam tanganku, terlihat pukul 4 dini hari. Astaghfirullah... semua terkejut lepas, melihat barang-barang berharga telah hilang dari kamar setiap penghuni. Termasuk diriku. Laptop, handphone ku dan sahabat-sahabatku telah lenyap dalam hitungan jam saja. 

Merupakan saat yang cukup berat ketika itu bagiku. Tak sempat aku berfikir untuk mencari itu semua. Karena di lain tempat keberadaanku telah banyak menunggu tanggung jawabku sebagai balatentara panitia acara. Saat yang tak bisa kukendalikan ketika itu. Semua beban serasa menyatu layaknya adonan kue yang sering kali orang tua ku membuatnya ketika lebaran tiba. 
Ya Allah, ku hanya dapat yakin dalam hatiku, bahwa ini adalah ujian-Mu. semua kulepaskan dengan tanpa rasa memendam. Ku yakin, setiap yang hilang, pasti ada yang datang. 

Mengapa disaat-saat ku ingin melakukan sebuah perubahan besar dalam diriku, Allah begitu berat mengujiku...

Apa ini yang dinamakan teguran-Mu...

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More