Rabu, 12 Januari 2011

Impian Teteh

Oleh: Redni Rahman

Aku bergegas pulang ke kosan yang letaknya sekitar 500 meter sebelah kiri gerbang kampus. Rasa malas di terik matahari kutepis mengingat janji pertemuan dengan teteh dan teman-teman siang ini. Jam menunjukkan pukul satu. Aku terlambat.

Segera kubuka pintu kamar, menghidupkan komputer, dan memprint bahan bedah buku siang ini. Ups, printerku agak bermasalah. Rasa gelisah terus merambati tubuhku.

Setelah memperbanyak bahan menjadi 7 rangkap, aku segera menyetop sebuah angkot coklat yang akrab denganku 5 tahun belakangan ini. Cuaca yang terik ditambah ketergesaan dan hati deg-degan akan menyampaikan materi membuat angkot ini terasa semakin panas. Kuseka keringat di dahi dan mulai menata hati.

Satu bulan yang lalu tugas ini diberikan padaku. Aku dan teman-teman sepakat membuat program kegiatan untuk beberapa bulan ke depan. Kegiatan bedah buku adalah salah satu kegiatan tersebut, selain kegiatan memasak dan rihlah (jalan-jalan). Aku ditugasi untuk membaca sebuah buku kemudian mengulasnya dalam acara bedah buku. Buku yang mereka sarankan adalah Zero to Hero karya Solihin Abu Izzudin.

Judul buku yang menarik, pikirku. Rasa penasaran membuatku segera mencari buku tersebut pada keesokan harinya. Ternyata tak sulit mendapatkan buku Zero to Hero di toko buku di desa kecil ini. Walaupun hanya desa, tetapi banyaknya tempat pendidikan perguruan tinggi membuat desa ini ramai dan mengalami perkembangan yang pesat. Padahal dahulunya hanyalah hutan karet yang sepi.

Kisah pembuka buku langsung menarik perhatian dan memunculkan pertanyaan besar di kepala, “ Bagaimana bisa seseorang menjadi ulama di usia belum baligh, hafal Al Quran dalam usia 9 tahun, dan menjadi mufti (hakim agung) pada usia 15 tahun?” Woow.. rasa ingin tahu membawaku menelusuri halaman demi halaman sampai halaman terakhir. 
“Kiri Mang! Kiri!”, ujarku pada sopir angkot. Hampir saja kelewat. Kusodorkan ongkos sampil mengucapkan terima kasih.
“Nuhun Mang.”
“Sami-sami Neng”, balas sopir angkot.

Aku masih harus berjalan beberapa ratus meter memasuki komplek perumahan menuju rumah teteh.
 “Assalamu’alaikum”, sapaku pada teteh dan teman-teman yang telah hadir lebih dahulu.

“Waalaikumsalam, kumaha damang Teh?”, demikian selalu sapa ramah teteh yang langsung menghalau segala lelah perjalanan menuju rumahnya.
“Alhamdulillah Teh, damang. Punten Teh saya terlambat”, aku pun tersenyum mengaku bersalah dengan keterlambatanku.

Keterlambatan yang hampir satu jam ternyata tak membuat acara bedah buku dibatalkan atau ditunda minggu depan. Itu sih harapanku, karena merasa belum siap untuk tampil, hehe.. Dengan tangan gemetar acara bedah buku pun dimulai.
“Teman-teman, ada seorang guru yang sedang mengajar murid-muridnya di siang Ramadhan di Masjidil Haram. Guru tersebut mengajarkan ilmu fiqih, muamalah, jinayah, dan hukum-hukum kriminal. Tapi teman-teman, guru tersebut meminta izin untuk minum. Murid-muridnya pun protes mengapa sang guru minum di bulan Ramadhan. Sang guru pun menjawab, “Aku belum wajib berpuasa.”

Tampak jelas keheranan di wajah teman-teman, aku pun melanjutkan.
“Ia tidak saja telah menjadi ulama ketika belum baligh, namun juga telah menjadi mufti atau hakim agung saat usia 15 tahun dan hafal Al Quran saat usia 9 tahun. Adakah yang tahu siapa dia?”

Teman-teman bergeming dengan pertanyaaan tersebut.
“Dia adalah Imam Syafi’i. teman-teman pasti tahu kan siapa Imam Syafi’i?...”

Cerita pun berlanjut tentang orang-orang hebat dengan kehebatannya masing-masing. Selain Imam Syafi’i, masih banyak orang-orang yang luar biasa; ada Abu Hurairah yang meriwayatkan hadits 5374 buah padahal baru masuk Islam pada usia 60 tahun, Zaid bin Tsabit yang hanya dalam waktu 2 bulan menguasai Bahasa Parsi, Abul Hasan bin Abi Jaradah yang menulis kitab-kitab berharga sebanyak 3 lemari buku, ada Abu Bakar Al Anbari yang membaca setiap pekan sebanyak 10.000 lembar dengan rata-rata per hari 1428 halaman, kemudian Syekh Abu Mahmud dari Palestina yang mampu menghapalkan Al Quran dalam waktu 3 bulan ketika berusia 37 tahun, dan masih banyak nama-nama lainnya.

Kami membahas tentang momentum, berani gagal, start from zero, be hero, dan tentang impian. Teman-teman didorong untuk berani bermimpi, bahwa mimpi bukan sekedar hayalan tapi sesuatu yang sangat ingin kita wujudkan agar kelak ketika tua tak ada penyesalan dalam hidup kita, dan karena orang-orang besar / luar biasa memiliki satu hal dimana kebanyakan kita tidak memilikinya, yaitu impian.

Aku menambahkan cerita tentang John Goddard. Pada usia yang masih sangat muda yaitu 15 tahun, ia menguping pembicaraan bibi dengan neneknya. Mereka membicarakan andaikan ketika mudanya mereka melakuan ini dan itu, maka tidak akan mengalami penyesalan dimana waktu tidak dapat kembali berputar ke masa lalu. Dari sana Goddard bertekad bahwa di masa tuanya nanti ia tidak akan menjadi orang yang menyesal.

Goddard kemudian mengambil secarik kertas dan menuliskan 127 buah impiannya. Pada usianya yang ke 47, ia telah berhasil meraih 103 dari 127 impian. Beberapa impiannya adalah mengelilingi negara-negara di dunia, mengarungi 8 sungai terkenal di dunia, gunung-gunung yang ingin ia daki, air terjun yang ingin dipotret, mengunjungi 7 keajaiban dunia, membaca karya-karya terkenal, dll. Hanya satu impian yang pada akhirnya ia menyadari bahwa impian itu hanyalah impian seorang anak, yaitu berperan sebagai tarzan.

Goddard telah berhasil memenuhi banyak impiannya. Menjelajahi Grand Canyon (bahkan untuk yang keempat kalinya), mengunjungi semua negara di dunia (tinggal 30 yang belum), menulis buku (Perjalanan di Sungai Nil), membaca karya Shakespeare, Plato, Aristotle, Dickens, Thoreau, Rousseau, Hemmingway, Twain, Burrough, Keat, Poe, Bacon, Whittier dan Emerson (meski tidak keseluruhan karya mereka), mengenal komposisi musik Bach, Beethoven dll, melihat upacarafire walking (di Bali dan Suriname).

Bermimpi itu gratis, tidak dipungut bayaran, bahkan ketika kita sama sekali tidak memiliki apa-apa, justru impian lah yang dapat membuat kita bergerak dan terus berusaha. Bagaimana bila untuk bermimpi saja kita tidak berani?
Indonesia merdeka karena para pejuang kita memimpikan negara yang merdeka. Bahkan kita ada karena orang tua kita mempunyai impian untuk memiliki anak, yang insyaallah menjadi anak soleh.

Impian setiap orang berbeda karena apa yang ingin diraih juga berbeda-beda. Mungkin ada yang mempunyai impian menjadi hafidz quran dalam waktu 10 tahun mendatang, membangunkan sebuah rumah yang nyaman untuk orang tua pada tahun 2015, mengelilingi dunia di usia 40 tahun, menjadi gubernur pada tahun 2012, memiliki penghasilan 100 juta per bulan, menguasai 5 bahasa, memiliki ladang strawberry, memiliki rumah sakit, dll.

Apapun impian mu, terserah. Milikilah impian dan berani bermimpi. Impian itu harus jelas, spesifik, dan mempunyai batas waktu kapan impian itu ingin diwujudkan. Selain itu, buatlah impian yang seimbang: seimbang antara dunia dan akhirat, serta antara diri pribadi dan sosial.

Pada saat membahas tentang Impian, teteh dan semua teman diminta menyampaikan satu impiannya. Seorang temen yang gemar memasak mempunyai impian memiliki rumah makan yang besar. Aku ingin menjadi trainer, sedangkan teteh yang mempunyai kekhawatiran dengan kondisi pendidikan yang ada ingin membuat sebuah sekolah yang sistem dan program sekolah tersebut bernafaskan nilai-nilai Islam.

3 tahun berlalu sejak acara bedah buku pada Juli 2006 tersebut. Aku dan teman-teman sudah lulus kuliah dan bekerja di tempat yang berbeda-beda. Tak banyak kontak yang dilakukan, pun dengan teteh.

Suatu hari, aku menghubungi teteh dengan rasa rindu yang telah lama terpendam. Bertanya kabar dan silaturahmi. Ternyata teteh sudah pindah tempat tinggal dan tidak lagi menjadi pengajar sempoa di tempat dulu. Satu hal yang mengejutkanku, teteh dipercayai untuk mengelola sebuah Sekolah Dasar baru yang bernafaskan Islam. Teteh lah yang merancang program untuk sekolah tersebut. Memang, impian teteh memiliki sebuah sekolah Islam belum benar-benar terwujud, namun aku yakin bahwa teteh semakin dekat dengan impiannya. Kekhawatiran mengenai kondisi pendidikan mulai terwadahi dengan memimpin sekolah dasar islam tersebut. Semoga Allah mengizinkan teteh untuk benar-benar meraih impian; memiliki sebuah sekolah yang bernafaskan Islam yang dikelola dengan tangan teteh sendiri. Aku yakin itu.

Tak lama berselang dari acara bedah buku yang menginspirasi kami semua untuk berani bermimpi, salah seorang teman tergugah untuk mengikuti sebuah pelatihan 3 hari 2 malam yang menuntun pesertanya untuk merancang masa depan yang sangat erat kaitannya dengan impian.

Sementara aku, yang pada waktu itu bermimpi menjadi seorang trainer, saat ini telah beberapa kali mengisi kegiatan training di sekolah tempat ku mengajar dan pernah pula diminta mengisi training untuk anak-anak para dokter di sebuah rumah sakit swasta di kotaku.

Pelajaran tentang berani bermimpi ini pun kutularkan pada para santri. Kami mengajak dan membimbing anak-anak sejak kelas 7 (kelas 1 tingkat SLTP) untuk bermimpi. Selain dengan training merancang masa depan oleh tim raining yang ada di sekolah, mereka juga dibimbing untuk menuliskan 100 impian di atas kertas.

Inilah kekuatan impian, dengan izin Allah. Semoga Allah melimpahkan semua kebaikan bagi orang-orang yang telah memberikan inspirasi dan dorongan bagi kami untuk menjadi orang-orang yang berani bermimpi dan berjuang meraih impian, serta terus bergerak menebar kebaikan.

Teteh dan teman-teman, terima kasih untuk kebersamaan manis kita…

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More