Rabu, 05 Januari 2011

Banyak Kecap di Nasi Goreng


Oleh: Ridha An Nisa

Kisah ini terjadi sekitar bulan Mei 2006. Berawal dari kemenanganku dalam lomba menulis lomba business plan yang diadakan Greenleaf Yogyakarta, sehingga aku mendapat kesempatan gratis mengikuti program pelatihan kewirausahaan selama kurang lebih tiga bulan di sana. Seingatku business plan atau lebih tepatnya ide bisnis itu berjudul Bandenga Pantura. Karena aku mahasiswa akuntansi kala itu semester lima, isi ide bisnisku paling menonjol adalah perhitungan keuangannya dan inilah yang membuatku berhasil menjadi juara pertama meskipun ide itu sederhana.

Saat pelatihan berlangsung di season terakhir ada kesempatan praktik bisnis yang dibagi perkelompok. Aku dan lima orang temanku direkomendasikan untuk bisa menempati ruang bisnis seorang pengusaha toko buku di Yogyakarta yang sekaligus mentor kami di pelatihan itu. Kami diberi tempat lantai dua tepatnya di teras atas took bukunya. Dari kelompok lima orang itu ternyata yang sungguh-sungguh praktik cuma dua orang dan yang lainnya hanya bantu-bantu atau sekedar meminjamkan peralatannya. Dua orang itu salah satunya aku. Wajarlah itu karena aku termasuk paling muda diantara peserta lainnya juga kayaknya paling semangat. Mereka memang sibuk, ada yang semester akhir, dosen, pemilik toko kelontong dan pedagang.

Depot minum kami itu aku beri nama GREENCAFE menyediakan kopi panas dingin, minuman dan Es Ria inilah andalan kami. Es buah dengan susu dan sirup istimewa yang aku datangkan langsung dari Pati tempat asalku yaitu kawista. Kami juga menyediakan nasi goreng, mie, dan kue. Pada waktu itu salah satu temanku yang membuat daftar menunya. Jadi aku menyesuaikan aja. Padahal yang menulis menu di dinding dan kertas menu jarang datang mengurus kafe ini. Seingatku dalam kertas menu juga ada STMJ, nasi liwet, nasi timbel. Apaan Itu aku juga bingung. Menerima ketering juga. Aku tidak tahu kenapa lahir menu-menu yang aku sebut tadi, kalau Es Ria dan Soto Pantura jelas itu eksperimenku. Kalau yang lain dari siapa ya? Menu apa Itu aku juga bingung. Awalnya kita kelola dengan bergantian jaga diantara peserta pelatihan, tapi aku yang lebih belanja keperluan dibantu Pak Dwi salah satu temanku yang bagian operasionalnya misal angkut-angkut karena ia punya mobil pick up. Pada akhirnya kalau teman-teman lain diminta jaga, mereka menolak denan alasannya antar istri, rumah jauh, sibuk dan lainnya. Pak Dwi inisiatif untuk memperkerjakan karyawan, kami menyetujuinya. Kami mengangkat dua orang karyawan satu perempuan temanku mengaji bernama Ina dan satu lagi laki-laki temanku di rental komputer yang biasanya aku kesana bernama Anto. Kami gilir jadwalnya. Setelah punya karyawan pun yang aktif mengurusi usaha ini cuma aku dan Pak Dwi. Perharinya aku yang lebih sering cek ke sana. Aku jadi bingung, karena jujur saja mahasiswa semester awal hanya bisa menulis bisnis plan, pelaksanaannya nol koma tapi hal ini aku anggap sebagai pembelajaran di kuliah kehidupan. Karena masih baru dibuka toko bukunya masih sepi jadi yang membeli di kafe juga sedikit. Kebanyakan dari mereka pesan minuman. Kalau masih Es Soda, kopi instan, sirup, Es Ria, mie masih gampang aku dan salah satu karyawan yang datang bisa atasi sendiri. Kalau ada yang pesan nasi goreng masih bisa kami layani karena Pak Anto pintar membuatnya. Namun kendala utama kadang tidak ada nasinya. Kalau yang ada di kertas menu, ditanyakan pembeli  aku bingung menjawabnya, karena ini memang tidak dibuat disini. Akhirnya aku putuskan untuk penutup beberapa menu. Aku dan Pak Dwi bingung memulainya, daripada bingung pokoknya mulai, apalagi Pak Dwi orangnya sangat optimis. Kalau aku pokoknya semangat. Bulan demi bulan aku lewati dengan dalih suatu pembelajaran. Konsep seadanya. Dua orang karyawan kita gaji selayaknya. Bukan dari hasil jualan tapi urunan. Kas usaha deficit terus. Awalnya urunannya semua peserta akhirnya ujung-ujungnya aku dan Pak Dwi yang putar otak. Jadi kita bekerja atau usaha untuk karyawan, bukan karyawan untuk kita. Hari demi hari aku jalani dengan percaya diri bahkan pada presentasi bisnis dikampus, aku sering mempromosikan melalui diskusi di kelas mata kuliah komunikasi bisnis atau lainnya. Aku sering memberi voucher minum pada mahasiswa, bahkan memperagakan cara membuat Es Ria di depan kelas. Agak ke-pede-an. Dosenku yang masih muda Pak Niko tersenyum geli karena gayaku super pede di kelas. Kalau aku asyik aja. Biasanya aku jadi ketua disetiap diskusi kampus jadi mahasiswa lain ikut aja ide dari aku. Padahal tak akali.

“Silahkan minum ini special dari kami, enak dan seger tenan, datanglah ke tempat kami!” Ucapku pede sambil terbayang keadaan kafe kami yang super sederhana duduknya di tikar alias lesehan asetnya lemari kaca, kulkas, meja hanya 3, kompornya gas kecil yang semuanya milik salah satu teman. Kafenya berada diluar teras lantai dua tanpa dinding sehingga dapat di lihat keramainan Jalan Kaliurang km 10. Pokoknya kala itu aku ekstra berfikir membagi waktu dan tenaga dari kuliah yang semakin sulit, organisasi kala itu jadi sekretaris redaksi majalah kampus juga, intinya jadi pengurus organisasi di dalam dan di luar kampus ditambah cari uang.

Masalah membayar gaji karyawan, aku gunakan cara penawaran di organisasi kampus yang aku ikuti atau di kampus lain. Kala itu aku aktif organisasai dan menjadi kepala Devisi Litbang FOSSEI (Forum Silahturahmi Studi Ekonomi Islam) yang membawai 15 universitas di region Yogyakarta. Dengan link ketua organisasi antar kampus aku punya kesempatan menawarkan keteringku. Kalau banyak yang pesan mencapai 100 porsi lebih aku lempar ke warung makan lain kita makelar aja. Kalau kurang dari itu kami tangani sendiri alias masak sendiri dibantu dua karyawan satu lagi istri karyawanku membantu bila diperlukan. Dulu pernah dapat pesanan acara FOSSEI selama tiga hari dengan dana minim. Salah satu menunya kita masak sendiri yakni dari ke pasar beli bandeng, masak dan cuci piring aku jalani bersama Mbak Ina dan yang operasional Pak Dwi. Alhamdulilah, oraganisasi yang lain dikampus lain kalau membuat acara seminar dan dananya pas-pasan pesannya di aku. Lumayan hasilnya buat gaji karyawan.

“Eh gosong, Mbak, kebakaran!” Teriak salah satu karyawan toko buku. Aku dan Mbak Ina asyik ngobrol sambil menggoreng bandeng untuk ketering besuk sampai tidak sadar ada kertas koran menyambar api dikompor kami. Aku panik. Mbak Ina yang orangnya kecil, suka senyum, tapi gesit langsung menyambar kain lalu dipukul-pukulnya api sampai padam. Ini juga salah satu kejadian yang tak terlupakan.

Suatu hari di Greencafe. Kutancap gas motorku pergi ke sana, lebih pagi yaitu sekitar pukul 08.00. Jalan kaliurang ini cukup ramai. Status Merapi kali itu Awas. Sempat terjadi awan panas, namun tidak seperti letusan Merapi baru-baru ini. Mobil lalu lalang, ada ambulance Bulan Sabit Merah, truk pengungsi, dan kendaraan pribadi. Sesampainya di kafe. Aku bertemu karyawanku, Pak Anto. Ternyata hari ini dia yang jaga.

“Gimana Pak, ramai? Lho persediaan habis ya, buah dikulkas habis juga.” Tak lama aku berada di sana ada sebuah mobil putih mirip ambulance dan kayaknya memang ambulance bergambar bulan sabit merah parkir di depan took buku. Aku lihat seksama dari atas teras. Kemudian aku lanjutkan mengambil sapu dan kusapu tempat duduk kafe yang penuh debu dari luar maklum karena tidak ada dindingnya. Tak berapa lama aku bersama Pak Anto bersih-bersih ada dua orang seusiaku datang kapada kami. Salah satu diantaranya memakai rompi bulan sabit merah dan berlogat melayu dan yang satunya lagi kayaknya orang Indonesia. Mereka membuka pintu kaca yang memisahkan toko buku dan teras.

“Mbak sudah buka?” Tanya salah satu dari mereka. Karena prinsipku jangan pernah menolak pembeli aku jadi bilang sudah padahal seingatku persediaan buah habis, yang ada kopi instan dan mie, aku juga belum nengok rice cooker. Mereka duduk mengobrol dan memilih menu. Kami pesan nasi goreng dan es buah.
“Ya Mbak, silahkan,”jawabku datar.
“Gimana nih, buahnya habis nasinya ada tidak ya,” kataku dalam hati. Aku tengok rice cooker ternyata ada nasi kemarin. Aku minta Pak Anto membeli buah-buahan. Ia bergegas pergi sedang aku cari cara ulur waktu. Mereka asyik mengobrol dengan gaya bahasa yang aku tidak terlalu paham, nampaknya yang berompi itu dari Malaysia.
“Oya aku harus masak nasi goreng nih, Pak Anto belum datang–datang.”ujarku lirih
“Mbak gimana pesanan kami?” Tanya mereka mulai gelisah.
“Ya, Mbak, mohon maaf, membuat menunggu.”
 Aku buka rice cooker mengambil nasi,
“lho nasinya kok lembek banget”. Aku kikuk sambil sesekali bergumam sendiri dan melirik mereka. Aku racik bumbunya lalu aku tumbuk.

Wah sudah semakin gelisah, giimana ya, harus bisa pasti bisa. Aku ingat buku The Way to Win, Solikhin Abu Izzuddin Pro-U Media Positif-Kreatif-Solutif. Kalau kita berpikir menang, maka semua potensi akan kita undang, seluruh kekuatan akan kita galang, seluruh lahang rintang akan kita terjang dan kita menang.”

Aku hidupkan kompor dan meletakkan penggorengan di atasnya. Lalu minyak, bumbu dan bismilah nasinya tapi sedikit kebanyakan. Memang nasinya mblenyek alias lembek, bumbu yang aku buat tidak membuat nasinya berubah warna masih putih bahkan masih bergumpal.
 “Gimana nih?” Buat bumbu lagi, aku tengok persediaan bumbu ternyata tidak mencukupi meskipun dibuat hasilnya tidak relevan. Akhirnya dapat ide menambah kecap. Aku segera raih kecap. Letupan-letupan nasi lembek yang menempel di penggorengan membuat aku jadi tambah panik. Kubuka tutup kecap dengan tergesa-gesa.
“Mbak gimana pesanan kami?” kata salah satu dari pembeli yang datang menghampiriku.
“Ya Mbak ini sedang disiapkan!” Jawabku dengan senyum.
Dan, ups! Tumpah, seluruh kecap yang ada di botol tumpah dalam penggorengan membuat nasi goreng lembek menghitam.
“Ya gimana nih!” Sementara itu, karyawanku datang membawa buah-buahan.
“Ada apa Mbak? Tanya Pak Anto.
“Gimana nih nasi gorengnya, Pak Anto?” Tanyaku panik.
“Ambil saja kecapnya yang didalam, Mbak!” Saran Pak Anto.
Segera aku ambil dengan sendok, tapi tetap saja masih terlihat lembek dan banyak kecapnya.
“Pak segera siapkan es buahnya, biar aku atasi” Kataku pada Pak Anto.

Akhirnya nasi gorengnya aku anggap sudah matang dengan keadaan yang memprihatinkan. Banyak kecap di nasi goreng, namun aku sajikan saja dalam piring begitu pula es buahnya kita sajikan dalam gelas bowl. Sedangkan es buahnya juga kurang maksimal karena Pak Anto hanya mendapatkan buah semangka saja sedangkan di kulkas melonnya agak kering. Pokoknya payah. Hidangkan tidak ya? Aku sebetulnya tidak enak, kalau tidak dihidangkan mereka sudah sampai bosan menunggu, sedangakan kalau dihidangkan seperti ini keadaanya. Akhirnya setelah pikir-pikir sambil curi-curi pandang ke dua pembeli atau dua relawan merapi itu,akhirnya aku hidangkan juga.

Pak anto mengambil baki dan mengantarkan pesanan.
“Kok lama banget!” komentar Mbak yang dari Indonesia dengan nada agak lantang.
Aku cemas, mukaku tidak karuan, sedikit berdiskusi dengan Pak Anto untuk member diskon. Kami jadi malu sedikit cemas. Perasaan bersalah. Aku masih curi-curi pandang mereka. Tak berapa lama mereka bangkit dari duduk dan hendak bergegas pulang.
“Pak kok cepat banget ya, Pak Anto itu mereka mau membayar.”bisikku
 “Berapa semua, oya nasi gorengnya tidak enak tuh”ketus mereka. Muka mereka kelihatan aneh dan berbau kecewa dengan kami.
“Maafkan kami, semua dua belas ribu rupiah Mbak,” jawab Pak Anto.
Mereka pergi dan terlihat ingin mengungkapkan berjuta komplain.

Walaupun kritik tidak terlalu dilontarkan pada kita. Perasaanku serasa memikul 100 ton rasa bersalah. Bergegas aku bereskan piring yang penuh dengan nasi goreng hitam. Artinya mereka mungkin hanya memakan 1-2 sendok aja. Sementara itu Pak Anto senyum-senyum.
“Kok senyum aja Pak?”
“Aku mencoba nasi gorengnya Mbak seperti makan kecap dengan nasi yang lembek!”
“Ya iyalah udah deh tetap semangat aja, lagian tadi juga kita kasih murahkan.” Jawabku berusaha menghibur diri sendiri.
Aku pulang dengan berjuta perasaan, yang paling mononjol adalah perasaan haru, karena aku tidak berharap bertemu dengan kedua relawan itu lagi untuk sementara waktu. Jelaslah mana mungkin aku bertemu kembali dengan mereka kan aku tidak kenal, apalagi salah satunya dari Malaysia.

Besuk pagi hari minggu, aku mau pergi ke Islamic Center Seturan mengikuti kajian ilmu agama, kuliah jalan, bisnis belajar, mengaji jangan sampai ditinggal. Aku segera berbenah dan langsung tancap gas menuju ke gedung yang jaraknya hanya 500meteren dari kos.

Sampainya di Islamic Center Seturan.
“Wah, agak telat nih, kurang pagi. Lho kok ada Ambulance Bulan Sabit Merah ada acara apa ya? Spontan saja memoriku langsung tertuju pada nasi goreng kecap.
“Assalamualaikum, maaf Mbak tulis daftar nama dulu, dan infaknya lima ribu!” Seorang gadis berjilbab putih cantik menyapaku.
“Waalaikumsalam, iya Mbak. Lho hari ini kajiannya apa ya, Mbak?”
“Hari ini ada acara pelatihan penaggulangan bencana.”

Mungkin persiapan Merapi. Dengan secepat kilat aku menulis daftar hadir takut acara segera dimulai. Sedikit tidak konsen karena terbayang ambulance tadi dan kejadian seminggu yang lalu. Sampai di pintu ruangan ada seorang yang posturnya dari belakang kayak aku sudah pernah berjumpa. Siapa ya? Tak lagi menebak-tebak. Si wanita berpaling padaku dan menyambutku dengan salam. Aku pun membalas salamnya namun dengan air muka linglung.
“Lho ini Mbak yang di toko buku ya?”
“I…iya Mbak, boleh masuk?” Bergegas aku masuk seperti kejatuhan gunung es pipiku merona malu karena ternyata salah satu penyelenggara acara adalah pembeli itu.

Saat acara berlangsung aku yang biasanya vocal, aktif bertanya kali ini menunduk terus. Tidak konsentrasi. Tak seperti harapanku ternyata aku dipertemukan dengan banyak kecap di nasi goreng eh maksudku pembeli itu. Ya Allah maafkan aku, mungkin Engaku tuntut aku belajar lagi dalam bisnis tidak asal-asalan.

Greencafé sebetulnya sudah jalan namanya juga rintisan. Namun mengingat tempat tidak strategis kurang ramai sedangkan aku harus konsentrasi kuliah akhir, ditambah saat itu terjadi gempa Yogyakarta, Greencafé kami tutup setelah kurang lebih bertahan 7 bulan. Aku belajar bisnisnya. Dengan pengalaman unik  yang tidak bisa diulang lagi. Semoga nantinya bisa membuka usaha betulan dengan lebih baik.

Ya Tuhanku, berilah aku ilham untuk tetap mensyukuri nikmat–Mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada kedua ibu bapakku dan untuk mengerjakan amal saleh yang Engkau ridhai dan masukkanlah aku dengan Rahmat-Mu ke dalam golongan hamba-hamba yang shaleh. (QS An Naml:19)

“Ya Allah,  berilah aku kekuatan untuk dekat dengan kekasih-Mu beriman dan bertaqwa semua karena-Mu, mudahkanlah melakukan perintah-Mu, berpegang pada Al Qur’an dan sunah Rasullullah. Salah satunya jadi pedagang yang jujur.


0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More