Rabu, 12 Januari 2011

Sepotong Pesan pada Segunduk Pasir

Oleh: Abdullah Azzam

Hujan menyisakan jarum-jarum yang bersusulan, sekaligus genangan kecoklatan di tepi jalan. Dari bis yang kutumpangi kuperhatikan seluruh bangunan dan rumah kuyup. Mereka laksana menggigil walau angin tak menyergap dengan keras. Hanya geliat lampu-lampu jalan dan sebagian terang dari bangunan-bangunan itu. Serta penerangan di dalam tenda pedagang kaki lima. Bis berjalan perlahan disebabkan kendaraan yang makin padat. Kesiuran motor mendahului kendaraan-kendaraan besar yang terkadang disusul umpatan para sopir. Di jalanan Bandung, pemandangan seperti ini bisa selalu ditemui saban hari.

Meski di luar udara begitu dingin, berbeda dengan yang dirasakan di dalam sini. Penumpang yang berdiri berdesakkan, dan aku berada di antaranya. Terjepit di tengah-tengah. Jika kutengokkan kepala ke arah kanan, keringat orang di sebelahku membuatku menahan nafas. Tak lebih beruntung jika ke arah sebaliknya. Orang besar ini tak punya pengertian, seenaknya merokok dalam kendaraan umum yang penuh sesak. Perda larangan merokok dalam angkutan umum massal begitu sulit sampai ke masyarakat. Sosialisasinya selalu tertahan dengan menyerbunya iklan-iklan rokok yang tampaknya lebih kuat daya tariknya. Dalam event apapun produk makruh ini selalu pasang poster paling besar. Saya selalu mengatakan dalam hati terhadap konsumen rokok, mereka tak makan bangku sekolahan (karena gigi takkan sanggup mengunyah kayu yang keras, hehe..). Pasalnya peringatan akan bahaya rokok terpampang dalam kemasan dan pada cetak iklan yang bisa terbaca dengan jelas. Dalam kepasrahanku yang menjadi-jadi, senyum merupakan obat yang ampuh menghilangkan kesah. Aku tak mau mengikuti mereka yang menyerukan keluhannya. Niatan hendak membuka buku atau mushhaf kuurungkan karena selain sesak, cahaya lampu dalam bis pun jauh dari cukup.

Bis terus merangkak seiring mobil lainnya. Angkutan umum (angkot) penumpang 12 orang menjejali bahu jalan. Terkadang roda-roda kirinya dipaksakan naik trotoar yang tak layak lagi disebut trotoar. Sepeda motor mengisi celah sempit di antara kendaraan yang lebih besar.

Tak beberapa lama, mataku tertuju pada pemandangan yang menarik. Hanya bebepara meter saja dari kubangan air yang sangat banyak (beberapa kendaraan roda empat sempat memutar mencari jalan alternatif). Seorang bocah sekira sepuluh tahun berada tak jauh dari kerumunan kendaraan yang hendak berbalik. Ia tengah asik dengan kesibukkannya. Jemari kecil menggali dan meraup pasir hitam kecoklatan hasil endapan banjir. Ia kumpulkan. Ia menjadikannya sebentuk bangunan candi. Persis di sisi jalan. Ia tak peduli lalu lalang kendaraan di sekitarnya. Badannya membungkuk, kepala sesekali miring. Sesekali duduk, lain kali jongkok, lalu berdiri mengamati hasil karyanya. Ah, kiranya girang betul ia.

Luapan kegembiraannya menyentil hati terdalam tuk tak sekedar turut riuh mengikuti degup-degup jantungku. Kurasakan rohani tersuntik bisikan lembut, lantunannya merasuk pada wilayah sensitif di antara semua bagian rohaniku. Ku biarkan ia terus mengalir ke seluruh ruang syaraf yang tersebar di setiap inci tubuhku.

Anak-anak selalu mendapat tempat di hatiku. Buku Children to Heaven-nya Mas Udik Abdullah yang berulang kubaca menerbitkan motivasi yang kuat saat melihat makhluk yang tubunhya tak lebih tinggi dariku. Rasulullah adalah orang yang sempurna. Dengan kesempurnaannya beliau mengajari untuk mencintai dan memuliakan anak-anak. Mereka adalah investasi kebaikan abadi yang akan terus mengalir walau hingga manusia tak mungkin lagi melakukan amal. Amalan yang tidakkan terputus salah satunya adalah dengan adanya anak-anak shalih shalihah. Doá-doá lembut dengan tulus dan jujur mengalir dari kedua bibirnya kan meredam murka Allah lalu berganti ampunan.

Ingin rasanya segera mendapati diri ini memiliki anak-anak yang lahir sebagai keturunanku. Namun... ah. Cukuplah kini ku berupaya menuliskan pesan ini kepada orangtua-orangtua agar tak kembali menjadikan anak-anaknya penyebab dari kerepotan dalam kehidupan mereka.

Hujan mengguyur dengan ganas. Kolong jembatan penyeberangan yang melintasi rel kereta api di jalan stasiun timur tak bisa dijadikan tempat berteduh yang nyaman. Aku dan beberapa orang tetangga berteduhku merapat erat pada trotoar di bawah atap sebuah warung yang tak seberapa. Angin yang meniupkan air dan cipratan dari lantai paving block tak ayal lagi memapar celana dan sepatu.

Aku beringsut ke arah kanan. Persis di samping berdiri seorang bocah. Tingginya hanya satu meter dengan didampingi seorang ibu gemuk yang terus mengeluh. Ini yang menarik. Sejak dari tadi kuurungkan niatku untuk memaksakan berlari menembus perisai air menuju stasiun. Bocah yang tak mau diam sejenak tampak beberapa kali menarik-narik ujung baju ibunya. Merasa kenyamanannya terusik, ibu itu mengibaskan tangan kecil anaknya berkali-kali. Hingga pada akhirnya tangan besar ibu itu melayang dan mendarat dengan pukulan keras di bahu sang anak. Disusul cubitan dan makian yang aku tak bisa memprediksi ujungnya.

Aku terdiam. Pikiranku kalut. Rasa iba dan marah bersatu menahan tindakan yang semestinya aku lakukan dari awal. Selalu saja aku memilih diam berpikir daripada bertindak. Aku memalingkan wajah pada sang anak dengan pandangan mengirimkan kalimat penguat. Tenang saja, Dik. Kau mesti bersabar.’ Sementara untuk ibunya ku tatap ia dengan tatapan tajam.
Ah, puluhan kali aku mendapati kejadian hampir serupa. Anak yang polos dengan keinginan tak banyak. Keinginannya tak lain adalah mendapat perhatian pada setiap aktivitasnya. Namun tak sedikit jika para orang tua dan orang di sekitarnya menyalahartikannya sebagai gangguan.

Sedikit dorongan, aku beringsut mendekati pintu. Karena bis yang berhenti, tak peduli aku meloncat.
Nuju naon, De?” (Sedang apa, Dik?)
Kepalanya mendongak. Sejenak ia ragu. Aku melempar senyum. Aha, dari senyumnya baru aku menyadari dia anak laki-laki yang periang.

Ia tak menjawab. Kembali ia pada kesibukannya. Aku berjalan menuju trotoar yang sebagian terrendam. Penjual gorengan, martabak telur yang sedang mangkal melayani pesanan yang hanya datang satu dua orang. Permukaan banjir mengalun dan beriak disertai gelombang-gelombang kecil melingkar-lingkar diciptakan gerimis yang hanya tinggal satu dua.

Beberapa menit mengantarkan si bocah menyudahi ‘proyeknya’. Sang arsitek tersenyum lebar. Ia berjalan perlahan mengitari karyanya. Gundukan pasir kecoklatan bercampur hitam disulap menjadi sesuatu yang luar biasa. Aku termangu menatap candi Prambanan yang berdiri megah di pelataran jalan. Dengan tinggi dua puluh lima sentimeter, bangunan itu agak doyong ke kiri. Tapi bocah laki-laki itu tetap tersentum.

Dialog ini terbentuk dalam hati:
Aku : Jadi ini yang kau buat?
Bocah : Kau lihatlah hasilnya. Yang aslinya saja tidak sebagus buatanku.
Aku : Kau luar biasa.
Bocah : (Tersenyum bangga)

Kelak aku akan jadi orang yang pintar dan bisa menjadi ternama. Tapi rasanya tidak perlu menunggu kelak. Aku sudah pintar. Akan kutunjukkan saat ini aku bisa membuat sesuatu yang berguna dan mengajari kalian para orang dewasa.
Aku : Pelajaran apa?
Bocah : Bahwa sesuatu yang berharga tidaklah dilihat dari apa yang sudah ada di depan mata.
Aku : Maksudmu?
Bocah : Semua hal ada karena ada proses. Proses itu yang penting. Jangan kau lupa pada langkah-langkahmu. Berdakwah ibarat membuat bangunan. Mesti membuat pondasi terlebih dahulu dan mesti membangun tiang-tiang yang kokoh untuk membentuk badan bangunan.

Aku tak berlebihan. Sungguh, anak ini telah mengajari kita pentingnya proses dakwah. Kita saksikan anak-anak di sekitar kita bermain dengan riang. Mereka menemukan permainannya sendiri. Dari permainan, mereka menemukan cara untuk menentukan nasib negeri di masa mendatang.

Begitu pun anak-anak di sebuah negeri yang konon kabarnya negeri ini diwariskan dari para nabi. Keriangan mereka mengumpulkan selongsong peluru dan menjadikannya koleksi mainan. Tapi mereka belajar. Belajar rasa sakit saat saudara dan teman-temannya tertembus isi selongsong itu. Belajar mengenali setiap musuh mereka dan musuh Islam. Belajar menciptakan senjata yang lebih hebat dari buatan negeri yang haus darah.. Lalu pun mereka kan mengajari kita betapa kemuliaan yang Rasulullah tunjukkan pada anak-anak adalah menjadi arti bagi bumi ini karena dari merekalah keabadian kalimat laa ilaaha illa Llah akan niscaya mewujud.

Nyatanya anak istimewa ini adalah putera dari orang tua yang luar biasa. Pada akhirnya, hikmah bisa didapat pada seonggok pasir yang selalu kita injak-injak. Pasir yang dengan kreasi anak-anak dapat menjadi bentuk lain yang penting.

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More