Rabu, 05 Januari 2011

Dua Ratus Ribu Stand by Me

Oleh: Ridha An Nisa

“Yes, berhasil juga aku angkat sepedaku ini, he…he…ternyata enteng juga...!” Ini artinya sudah sampai Ringroad Utara, kupotong jalan lebar ini bersama sepeda cantikku, melewati pembatas jalur lambat ke jalur cepat dan lambat lagi hingga sampai di seberang jalan. Kuusap keringat yang mengalir di keningku. Seluruh badanku bermandikan mentari pagi ini. Angin berhembus sepoi, merangkulku bak sahabat pagiku yang setia memberi kesegaran jiwa dan raga ini. Angin bawalah kabar gembira dari Yang Maha Indah hari ini untukku.

 Dan Dialah yang meniupkan angin sebagai pembawa berita gembira sebelum kedatangan rahmat-Nya (hujan) hingga apabila angin itu telah membawa awan mendung, Kami halau suatu daerah yang tandus, lalu kami turunkan hujan di daerah itu, maka kami keluarkan dengan sebab hujan itu pelbagai macam buah-buahan. Seperti itulah kami membangkitkan orang-orang yang telah mati, mudah-mudahan kamu mengambil pelajaran. (QS Al A’raf:57)

Sepeda ungu eksotik yang baru aku beli ini berparas lelaki alias desainnya cocok dipakai reli. Wah, kampus semegah ini, salah satu mahasiswanya pakai sepeda trendy, padahal lainnya banyak yang pakai stang bunder dari mobil lama sampai ke sedan dengan merk paling wahid atau minimal motorlah. Seingatku hanya satu mahasiswi yang ke kampus naik sepeda. Dan itulah aku. Mengayuh sepeda sejauh 3-4 km cukup menguras sarapanku.

“Hah telat 10 menit.” Roda sepeda kesayanganku baru saja menginjak halaman depan kampus, mata agak tegang, pikiranku melayang pada salah satu dosen yang selalu memberi peringatan pada mahasiswanya tentang aturan masuk kelas tidak boleh melebihi 15 menit ketika jam kuliah dimulai. Genjot terus sepeda trendyku melewati puluhan mobil mewah menuju ke parkir basement. Kutaruh dan lari….!
“Ke lantai 2 tidak ada waktu lagi…!”
“Permisi, Bu!”
“Ridha An Nisa ya? Jam berapa sekarang? Sudah ingat peraturan kelasku?” Jawabnya datar.
“Sudah, Bu!”Jawabku heran. Ibu dosen satu ini hafal betul menyebutkan nama lengkapku.
“Baik Anda boleh keluar!”

Aku keluar dengan semangat yang masih tersisa. Rasanya sisa sarapan diperut sudah minta pertanggungjawaban, mau untuk apa tenagaku, kegiatan bermanfaat atau terusir dari kelas? Nampaknya aku kurang disiplin atau kurang pagi lagi berangkatnya. Sepedaku, maaf ya, besuk kita lebih semagat lagi, lebih pagi lagi berangkatnya. Maklumlah mahasiswa pas-pasan seperti aku, ini harus punya kelebihan yaitu semangat, kerja keras dan istiqomah. Sebetulnya naik sepeda ini supaya irit biaya transport, tapi malah telat.
“Ngapain ya? Sambil nunggu kuliah berikutnya? Oya, ke mushala aja!” Waktunya dhuha. Mengadu pada Allah. Inilah kegiatan yang acap kali aku lakukan untuk menunggu waktu kuliah berikutnya. Lebih efisien daripada bolak-balik naik sepeda kesayanganku.capek kan.

Dalam keheningan aku bersujud, kening, hidung, mulutku tertahan di lantai dingin, hamparan sujudku. Bahasa kalbuku terkunci oleh nikmat Allah yang tiada kira. Di rumah yang seindah ini ia bernaung dalam nikmatnya rahmat-Nya. Sebuah kampus yang begitu megah untuk ukuran dunia, berada di sebuah ruang tanpa pintu, Aku melepaskan waktu dhuha bersama angin yang berhembus disela-sela celah jendela.  Sebuah tangga harus dilewati untuk bisa sampai ke Mushala kampus ini. Mushala Baitul Jannati itu namanya berhubungan langsung dengan jalan yang semakin menurun yang diatur melingkar yang mengantarkan ke lantai bawah.

Aku juga tidak pernah berfikir, Allah mencurahkan rahmatnya hingga aku bisa meneruskan pendidikanku di kampus yang semegah ini. Aku sementara tinggal ditempat pamanku di rumah yang megah juga dan dikuliahkan. Namun selalu terbesit dalam hatiku, aku harus mandiri. Alhamdulilah Allah, di sini pula bisa bertemu dan bergabung dengan sahabat-sahabat di UKI (Unit Kerohanian Islam). Rasa hati tak habis-habisnya bersyukur akan karunia Allah, Allah Alhamdulilah aku bisa kuliah dan bertemu dengan banyak teman yang mengajak dalam kebaikan. Meskipun aku juga tak menyangka bisa diterima dikampus yang terkenal kampus kaum jet set, banyak muslimnya tapi non muslimnya juga banyak, mahasiswa dari luar pulau dan banyak pula dari etnis TiongHoa, tapi ghirah jihad yang ada di UKI tidak kalah dengan Lembaga Dakwah di Universitas lain. Bahkan di lingkungan pergaulan yang riskan, menjamurnya café, tempat kongko-kongko dan cara berpenampilan seksi, semoga aku dan sahabat-sahabat UKI bisa menghindarinya, dan mengarah ke jalan yang baik.

Kalbuku terjaga, serasa baru saja mendarat dari satu dunia ke dunia lain. Aku palingkan kepala hingga sajadah yang tertata apik menghadap Baitullah berputar mengikuti badanku. Ke arah toilet mushala.
“Allah hanya ini yang bisa aku lakukan, semoga bermanfaat untuk orang lain.” Aku tahu manajemen kampus ini memang paling top, tapi tidak ada salahnya isi waktuku untuk bersihkan semua toilet mushala dan tempat wudhunya. Oya plus mukenanya ini juga aku cuci sekalian, nanti sore aku bawa pulang. Selesai bersih-bersih aku buka dompetku, lumayan kayaknya uangku masih ada 200 ribu.
“Mana ya?Lho kok ga ada,” gumamku bicara sendirian. Kubuka seluruh celah dompet hitamku, kukeluarkan seluruh isinya tapi uang ratusan ribu berjumlah dua lembar yang kucari-cari tetap tidak ada. Ya Allah gimana nih, untuk makan dan kebutuhan. Allah bukakan jalan untukku agar dimudahkan berusaha. Aku menundukkan kepala berusaha beradaptasi dengan keadaan ini. Canggung. Berusaha mengendalikan perasaan aku sengaja buka buku baruku dan membacanya dihalaman depan. membacanya keras. Sengaja aku baca keras supaya semanagat dijiwa bangkit mendengarnya. Success with shalat inilah shalat, dalam gerak dan ucapnya ada hikmah yang dasyat “sekolah” kesuksesan terhebat sukses yang didapat bukan kesuksesan semu dihadapan manusia ,tapi kesuksesan yang membuat jiwa tidak lagi hampa, Salman Ar Raisy. Pas sekali, Semagat” teriakku mengomentari tulisan di halaman depan bukunya.

 “Aku harus cari duit nih, kok tidak ada yang minta diterjemahkan diktat kuliah ya?” Biasanya salah satu penghasilanku adalah menerjemahkan diktat berbahasa Inggris dan mengerjakan paper mahasiswa lain mendapat upah sukarela dari mereka. Tapi belum ada yang terjemahkan lagi.
Lemas aku menuruni tangga mushala dan berjalan menuju gedung bentuknya mirip mall yang terdapat ruang kuliah yang berjajar melingkar.
“Bapak-bapak office boy itu pasang apaan ya?”
“Kampus mau ada Lustrum, Lustrum dengan berbagai lomba, ada lomba menulis nih, itu gayaku. Asyik, ada kesempatan nih!” Hadiahnya Juara pertama 1,5 juta, kedua 1 juta, ketiga 500 ribu. Ini kesempatanku dapat duit. Entah apa kali ini motivasiku adalah mendapatkan uang untuk mengganti uangku yang hilang disamping aku juga suka menulis. Tapi kali ini menulis karya tulis gimana ya, aku masih belum tau caranya, maklumlah baru semester awal.

Beberapa hari setelah membaca pengumuman lomba itu aku selalu putar otak untuk mendapatkan bahan-bahannya. The Way to Win, Solikhin Abu Izzuddin Pro-U Media Positif-Kreatif-Solutif. Cukup inspiratif buku ini. Allah aku harus tetap bersyukur dengan keadaanku sekarang, semangat positif thingking, Kreatif dalam bertindak dan karyaku harus solutif meskipun awalnya solusi ini untuk mengganti dua ratus ribuku yang hilang. Siang itu sambil menunggu jam kuliah aku putuskan membaca koran yang dipasang di tengah kampus. Di sana aku cari tau informasi tentang seminar untuk menunjang karya tulisku. Menyambut Ulang tahun BRI tahun 2005 mengadakan seminar gratis tentang Microfinance.
“Pas nih. Pesan tempatnya via telepon. Alhamdulilah Allah.

Aku harus segera telepon. Namun, ternyata seminar sudah penuh tidak ada tempat lagi. Gimana ya? Gimana caranya ikut seminar itu ya supaya aku dapat bahan-bahan karya tulis? Bismilah, aku pokoknya pada hari H wajib datang. Aku pikir tidak semua orang yang telah mendaftar pasti datang. Dari sekian ratus yang datang pasti ada yang berhalangan. He…he…mohon kemurahan-Nya, Ya Allah, Ya Karim.

Hari ini adalah hari berlangsungnya seminar. Tancap gas, eh salah tancap sepeda ke kos temanku namanya Damai lalu berangkat ke MM UGM tempat diselenggarakannya seminar itu.Kali ini aku sengaja mengajak teman kuliahku bernama Damai, mahasiswa transferan D3. Kalau perginya sama Damai aku bisa dapat tumpangan motor sampai ke gedung MM UGM.
“Rid, kamu sudah punya tiket atau sudah daftarkan?”
“Tenang aja Mbak, kan ini seminar gratis sudah aku atur.” Jawabku ringan.
Deg...degan juga nih, gimana cara yang pas mendapatkan tempat ya, cara bertanyanya harus pas, ya Karim tuntunlah lidahku.

“Pagi, Bu, nama saya Ridha An Nisa juga Damayanti sudah tercantum?” Sapa saya dengan nada berharap, pastinya saya tahu nama saya tidak mungkin ada karena kemarin memang sudah tidak bisa mendaftar. Tapi, entah kenapa lidah ini ungkap kata-kata itu.
“Pagi, Mbak, maaf bisa tunggu sebentar saya carikan..! Maaf mb, saya cari-cari tidak ada?” jawab front office seminar terlihat masih penasaran membolak-balik daftar hadir.
“Oya, tidak ada ya bu, apa masih bisa ikut seminar?
“Silahkan Mbak, boleh, masih ada tempat.tulis dulu namanya Mbak!”

Yes, Innallaha ma’ana, aku bisa ikut seminar penting ini. Semiar tentang usaha mikro kecil menengah dan peran lembaga keuangan mikro. Rehat seminar diberi makan gratis, snack, buku, semua cuma-cuma, kan lagi rayakan ultah. Ini nikmat menurutku. Alhamdulilah bahan-bahan ini bisa aku pakai bahan ide untuk karya tulisku.

Inilah jalan yang dibukakan Allah untukku. Thank You Allah. Walau dilalui dengan sedikit kere aktif. Aku harus utak-utik makalah ini dan ditambah buku-buku dari perpustakaan kampus sebagai referensi. Aku yakin yang ikut lomba ini tidak banyak, inilah kesempatan aku untuk unjuk gigi. Teman-teman kampusku jarang yang menyempatkan ikut lomba. Dua Ratus ribuku…Allah maaf Allah Ridha niatkan untuk rejeki berupa materi, tapi aku yakin ada kebaikan yang berlimpah bila semua ini menjadi pembelajaran berharga untukku. Lebih disiplin dalam segala hal. Menumbuhkan jiwa bertanding, tidak ada orang itu menang tanpa bertanding. Ini ujian kehidupanku dimulai, Allah bisikanlah kabar gembia ini. Hanya dengan tenaga aku dapat bershodaqoh, semoga Allah mendekatkan aku dalam keikhlasan. Semoga harta Pak Lik barakah. Dari beliaulah aku bisa melanjutkan kuliahku, masih tetap tinggal di rumah mewah. Dan sedikit menghiburku, melupakan sejenak kehancuran ekonomi keluargaku. Semua harta kami habis entah kemana, hilangnya uang ratusan juta itu mengubah sedikit jalan hidupku. Ibu ayah aku rindu. Ibu aku selalu mendoaakan kalian, terutama ibu yang rela menjalani hari-harinya dengan berbagai cobaan manusia, penjara dunia. Hanya karena harta manusia rela mendhalimi diri dan orang lain. Aku tahu kamu tidak bersalah, Bu, Allah telah menguji kita, menguji kepercayaan pada Maha Karim. Ayah kuatkan hati, mengahdapi orang-orang yang sarat dengan ghibah. Aku akan kuat disini, walau harus mengerjakan semua pekerjaan di rumah yang mewah ini. Rumah saudara laki-laki ayah. Ini semua proses Allah. Aku berbaring dalam kegelapan malam terus berbicara tanpa ada siapapun yang mendengarnya.

Jadi ingat ada sebuah ungkapan yang membakar semangatku dibukunya Solikhin Abu Izzuddin The Way To WinKalau kita berpikir menang, maka semua potensi akan kita undang, seluruh kekuatan akan kita galang, seluruh lahang rintang akan kita terjang dan kita menang.” Tiga hari lagi akan aku selesaikan tulisanku.Bismilah!

Aku tidak akan malu, menjadi satu-satunya mahasiswi yang bersepeda ke kampus elit, aku tidak akan malu bertanding dengan kekuatan apa adanya yang ada dalam diri adalah potensi.

Hari ini aku dengan sepeda onthelku ke kampus tidak telat. Pukul 05.30 pagi aku sudah berangkat. Kali ini aku siasati bersiap ditempat kos temanku, biar terlihat segar, numpang bersih-bersih diri, kadang bersiap di kampus.. Kuliah jam 7 pagi tidak akan telat. Hari ini ada kuliahnya bu Teresia Akuntansi Menengah. Hari ini pembagian nilai ujian mid. Ia panggil satu per satu mahasiswa untuk mengambil hasil ujiannya. Namaku belum dipanggil-panggil ya? Mungkin dulu pernah diusir dari kelas kali ya. Tapi aku yakin ujian ini aku kerjakan sebaik mungkin.

“Ridha An Nisa!” ia panggil namaku, sambil melirikku agak heran. Namun aku sambut dengan senyum lebar dan sedikit berbangga. Alhamdulilah dalam hatiku. 99 ini nilai hampi sempurna. Selesai belajar di kelas aku lanjutkan membuat karya tulis, pakai computer kampus modalnya cuma disket. Komputernya kan fasilitas eman-eman kalo tidak dimanfaatkan, pikirku menghibur diri sendiri, tapi cuma alasan paling pas. Alasan yang asli  ya memang tidak punya komputer.

Aku kumpulkan tulisanku. Hari ini terakhir mengumpulkannya. Dan 2 hari lagi presentasi. Kuatkan aku Ya Allah.

Presentasi karya tulis berlangsung, karya tulis dengan ide dari seminar microfinance membantuku, kata-kata bapak dari kementrian koperasi masih terngiang di telinga ini memudahkanku menjawab pertanyaan. Akhirnya selesai juga aku lega. Sore harinya pengumuman. Sambil dirayakan lustrum kampusku. Saat pengumuman aku agak deg-degan. Terbayang-bayang lembaran dua ratus ribu, seperti berputar-putar di kepalaku.

“Juara 3 diraih Ridha An Nisa, silahkan maju ke panggung” Panggilan dari MC acara Lustrum serasa mimpi bagiku.
“Rid, kamu dapat juara 3, maju Rid!” suara Damai membangunkanku.
“Aku dapat juara 3, Mbak Damai? Alhamdulilah bukan dua ratus ribu lagi tapi lima lembar ratusan ribu!” teriakku terkesan narsis.
“Ridha An nisa. Selamat ya!”

 Tepat di bulan pertengahan September 2005, di acara Lustrum Kampus tercinta, alhamdulilah aku dapatkan tropy dan uang pembinaan Rp 500.000,00. Yes, Allah stand by me, ini bisa gantikan uangku yang hilang. Untuk kebutuhan kuliah dan jajan, jangan lupa shodaqoh semampunya.

Pengalamanku ini sedikit mengubah gaya kehidupanku untuk lebih menghargai waktu, sedikit mengubah kekonyolan menjadi usaha yang mengutamakan ingat pada Allah. Meminta pertolongan pada-Nya dalam kondisi sekecil apapun. Berpikir positif melakukan perubahan dari sedikit demi sedikit. Membersihkan toilet atau mushola, masih terus aku lakukan disela-sela kuliah karena baru itu yang aku wujudkan sebagai sedikit shodaqoh. Mengubah kelemahan ekonomi sebagai cambuk untuk tidak malu dengan keadaan.

“Sepeda unguku ayo antarkan aku ke kampus mewahku, menuntut ilmu!“  Dan dua ratus ribuku aku temukan 6 bulan setelah lomba itu ternyata terselip di buku dan aku lupa meletakkannya. He…Orang mau maju apa harus dengan hilang dulu titipan dari Allah ya? Aku harus tetap berjuang untuk mandiri. AKM 1 (Akuntansi Menengah 1) diakhir semester untuk mata kuliah ini nilaiku B lumayan lho. Sepeda ungu eksotik yang baru aku beli dengan harga Rp 575.000,00 tahun 2004 sampai sekarang masih ada. Dan kini sepeda ungu sudah ditemani motor bebek dan stang bunder, walau aku baru bisa beli mobil second, namun Nikmat mana yang kita dustakan. Semua karena pertolongan AllahUntuk para pejuang ilmu jangan takut untuk bertanding!


0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More