Kamis, 13 Januari 2011

Hebatnya Para Ibu Kita

Oleh: Muhammad Itsbatun Najih

Dengan atas nama kasih sayang, kasih seorang Ibu menjadi hal lumrah saja untuk dibicarakan. Selalu ada pembelaan diri ketika apa yang dilakukan oleh beliau untuk anaknya. Bahkan ketika beliau memarahi anak-anaknya pun hal itu tentu dianggap sebagai salah satu bentuk dari kasih sayangnya. Ketika anak melakukan tindakan yang dirasa kurang pas baik dari sudut pandang norma sosial maupun agama, beliau tak segan-segan melakukan aksi represif.
         
Tapi, akan sedikit-banyak heran, ketika ibu pada zaman sekarang bukanlah ibu di zaman dulu. Setidaknya ada beberapa alasan untuk menguatkan argumen saya tersebut: Banyak ibu yang menjual anaknya. Menjual dalam artian yang sebenarnya ataupun dalam tanda kutip tentunya. Atas dasar kemiskinan dan menyambung hidup dan dibumbui takut tidak bisa merawat anaknya dengan baik, anaknya yang masih bau kencur dibandrol dengan beberapa juta kepada makelar bayi. Dan itu merupakan fakta. Atau yang lebih kejam lagi adalah menyewakan anaknya yang masih batita kepada para pengemis di jalanan ibu kota. Dan sekali lagi itu pun fakta.
            
Parahnya, penjualan anak dalam artian mengeksploitasi untuk bekerja, dan mencari uang. Anak yang sejatinya masih dalam tahap riang bermain sambil belajar harus disibukkan dengan rutinitas kesibukan yang luar biasa layaknya orang dewasa saja. Miris atau pun mungkin ada pembenaran (pembelaan dari ibu-ibu tersebut). Di sana tentu ada alasan kemiskinan, mengasah bakat si anak, atau mungkin sudah watak si ibu dari sono-nya.
        
Berangkat dari sini, dari paparan fakta-fakta di atas adalah ketika ibu mengabaikan apa yang dinamakan tentang pentingnya manifestasi pendidikan. Di banyak tempat, atas dasar kemiskinan, selepas Sekolah Dasar atau paling banter SLTP, orang tua menyuruh anak-anaknya bekerja. Bekerja apa saja demi perbaikan taraf hidup. Logikanya, :untuk apa sekolah yang tentunya butuh biaya banyak. Bekerja bukankah akan menghasilkan uang. Tentu akan sangat memperingan beban sang orang tua, bukan? Kalau toh si anak nanti sukses (kaya), pasti orangtua akan menuai hasilnya, mungkin bisa dinaikkan haji anaknya yang telah bekerja sedari kecil, atau rumahnya menjadi agak bagus.

Lalu untuk apa sekolah? Sudah mengeluarkan banyak uang, tenaga, pikiran dan waktu, setelah itu pun, tidak ada jaminan sama sekali akan langsung mendapat pekerjaan yang sesuai. Lihat saja antrian pendaftaran CPNS ataupun ketika diadakan Job Fair. Mereka itu yang antri, semua telah bergelar akademik, berpendidikan, tapi untuk urusan pekerjaan? Wallahu 'Alam.

Logika semacam itu jamak terjadi pada orangtua yang terpuruk dalam aspek finansial. Tapi, kita juga selayaknya mampu meresapi arti kasih sayang mereka dalam tafsiran lain tentunya. Meskipun tentu kita perlu untuk tidak sepakat dengan logika semacam itu.

Kebiasaan saya hunting buku kali ini berbeda dari sebelumnya. Mengapa? Tampaknya mata saya terfokus pada buku yang berjudul ‘the great power of mother’ karya Solikhin Abu Izzuddin dan Dewi Astuti. Buku ini mampu menyilaukan hati saya untuk tergerak membelinya. Dari buku ini terkesan ada memori yang lama terpendam yang tiba-tiba bermetamorfosis menjadi kerinduan seseorang yang sudah lama terpatri dalam lubuk ini.

Sekitar tiga lalu, beliau berpisah dengan saya dan kami semua. Saat itu kami merasa kehilangan yang teramat besar. Sejak saat itu saya sudah tidak lagi merasakan kehangatan pelukannya, sentuhan lembutnya, nasihatnya yang meneduhkan hati ini dan tak lupa pancaran sinar wajahnya yang menyiratkan akan penjelmaan sebagai ibu yang sejati.

Baiklah, saya harus menunda buku-buku lain yang akan saya beli. Untuk kali saja, saya ibarat membeli semacam obat penghilang rasa rindu. Buku tersebut akan segera menghilangkan kerinduan pada ibu saya. Dan jauh dari itu, saya akan belajar dan mengerti banyak berbagai hal tentang seorang ibu.yang sejati.

Ada satu hal yang bagi saya paling menyentuh dari memori tentang ibu saya. Beliau sangat mementingkan betul apa yang dinamakan dengan pendidikan. Beliau sangat menaruh harapan agar anak-anaknya kelak bisa menjadi orang pandai dan bisa berguna bagi yang lainnya.

Kelihatannnya memang tidak ada yang teristimewa dari ibu saya tersebut. Bahkan bagi ibu-ibu lainnya juga seperti itu. Tapi, akan kelihatan kontras jika latar belakang ibu yang hanya tamatan SLTP. Lain halnya jika ibu saya merupakan lulusan pascasarjana, maka otomatis naluri pendidikan akan ditularkan pada anaknya. Satu hal lagi adalah ketika kondisi finansial keluarga saya yang tergolong menengah ke bawah.

Ketika itu, kakak saya telah menyelesaikan jenjang pendidikannya pada Madrasah Aliyah (setingkat SMA). Sanag ayah memerintahkannya untuk melanjutkan ke perguruan tinggi. Sedangkan sang ibu berkehendak untuk menimba ilmu di pondok pesantren. Wal hasil, kakak saya tinggal di Yogyakarta: Pagi kuliah dan sore sampai larut malam mengaji. Bagi saya, keputusan bapak dan ibu saya luar biasa berani. Bapak yang hanya menjadi guru honorer di jaman dulu pada sebuah madrasah kecil. Sedangkan ibu tidak bekerja alias menjadi ibu rumah tangga.

Namun, di masa-masa awal kuliah kakak saya, keluarga kami tertimpa musibah besar. Sang ayah yang kesehariaannya sebagai guru Mts tertimpa fitnah yang harus menyebabkan beliau menanggalkan profesinya yang terhormat tersebut. Perekonomian keluarga kami runtuh sekaligus. Mungkin rasanya melebihi resesi ekonomi yang di alami Amerika Serikat dua tahun lalu.

Sedangkan sang kakak teramat membutuhkan biaya untuk kuliah dan pondoknya. Belum lagi kakak saya yang kedua yang masih duduk di bangku Madarsah Aliyah awal. Dan saya sendiri yang paling kecil masih duduk di kelas dua Madrasah Ibtidaiyyah.

Di saat yang paling sulit tersebut, ada semacam kisah heroik yang paling membuat saya haru. Yakni, ketika tidak ada satu pun dari bapak maupun ibu yang mengintruksikan kepada kami bertiga untuk putus pendidikan lalu menyuruhnya kerja.

Terkesan tidak lumrah, ketika lingkungan di sekitar kami masa-masa seusia tersebut, anak-anaknya banyak yang merantau ke kota-kota besar untuk membantu perekonomian keluarga. Bahkan juga, kami bertiga mungkin merasa tersindir oleh lingkungan yang dianggap anak yang tidak tahu diri. Di tengah terpuruknya kondisi ekonomi keluarga tersebut, beberapa gelintir dari lingkungan sekitar mungkin akan berpikir seperti ini:mbok ya sekolahnya di tinggal dulu dan bekerja.

Tapi, agaknya saya masih harus memelihara rasa keheranan yang luar biasa ketika bapak dan ibu melarang hal itu. Kami di larang putus sekolah, kakak saya dilarang meninggalkan bangku perkuliahannya. “Kuliah harus jalan, sekolah harus jalan, urusan uang, itu urusan orangtua.” begitu kira-kira kata dari beliau berdua.

Baiklah, kami bertiga menuruti kehendak bapak dan ibu. Di tengah kondisi yang serba menyedihkan, ada tekad besar dari kami bertiga.untuk mengembalikan logika sebagian masyarakat sekitar yang sinis terhadap langkah kami bertiga.

Ibu yang hanya punya sepetak sawah menjadi pengorbanan terbesarnya. Hasil penjualannya yang tidak seberapa memang. Tapi, masih ada raut ceria serta senyum khas dari beliau meskipun harta pusakanya telah berpindah tangan. Bagi saya, senyum beliau pertanda sebuah keikhlasan dan harapan akan masa depan pendidikan anak-anaknya.
         
Tapi , rupanya Allah SWT telah mengganti dengan segera pengorbanan serta mengabulkan permintaan harian ibu. Kakak saya, selalu mendapat beasiswa dari berbagai pihak atas prestasi akademisnya. Dan saya selalu meraih predikat bintang kelas setiap tahun sejak kelas satu Ibtidaiyyah sampai kelas tiga Aliyah. Alhasil, saya tidak pernah meminta iuran bulanan (SPP) karena mendapat pembebasan SPP dari pihak sekolah.

Ada keceriaan dan kebanggan yang luar biasa dari ibu dan terutama bapak, Ketika kakak saya berhasil meraih gelar strata satu. Ketiak berselang tiga tahun berikutnya kakak kedua saya juga menyabet gelar strata satu dan keberhasilan saya menjuarai umum dalam pretasi akademik di sekolah. Mungkin saya akan teringat dengan kebahagiaan yang luar biasa yang dialami oleh tokoh Babe (Benyamin S) dan Nyak (Aminah Cendrakasih) dalam sinetron Si Doel Anak Sekolahan ketika si Doel (Rano Karno) berhasil menyabet gelar sebagai insiyur. Maklum saja, setelah beberapa tahun berjalan, bapak berganti-ganti profesi, mulai dari menjadi buruh penggilingan milik saudara sampai berjualan buku-buku agama. Mungkin beliau akan mengatakan pada orang-orang bahwa anak buruh penggilingan padi bisa jadi sarjana. Dan ibu saya meneteskan air mata. Sebuah simbol kebanggaan dan keharuan.

Kekaguman saya pada sosok Ibu yang satu ini begitu besar. Ia boleh dibilang sudah melawan arus. Melawan kebiasaan demi melawan kebodohan. Beliau berpikiran tajam memandang jauh kedepan. Bagi beliau, mungkin pendidikan adalah manifesto yang sangat bernilai. Maka saya akhirnya dapat mengerti langkahnya dulu ketika beliau melarang kami untuk berhenti sekolah dan tetap menggapai masa depan dengan pendidikan. Sekarang beliau beserta sang ayah telah menuai hasilnya.

Lazimnya seorang ibu yang dibesarkan dalam tradisi dan ketaatan terhadap agama, hal serupa juga merembes pada kami bertiga. Shalat jamaah merupakan kebiasaannya. Belum lagi shalat-shalat sunnah yang lain.

Dua amalan yang paling beliau konsisten dilakukan sejak saya masih kecil adalah amalan sholat dluhanya dan membaca surat al-Waqi’ah setiap pagi serta sore hari. Belakangan saya tahu, bahwa fadlilah dari amalan-amalan tersebut untuk memperlancar rizqi.
Setahun menjelang kepergiannya, ada pesan khusus yang diberikan kami bertiga. Sebuah pesan yang selalu diulang-ulang dalam keadaan apa saja. Yakni, agar selalu mendoakannya ketika nanti sudah wafat. Minimal membaca surat Al-Fatihah. Kesehatannya yang setahun terakhir semakin menurun ternyata tidak sebanding dengan meningkatnya beliau dalam menjalani ritual keagamaan.

Diabetes adalah pangkal penyakitnya. Diagnosa penyakit ini memang baru kami ketahui setelah ibu diperiksakan ke dokter. Lambat laun tidak cuma diabetes saja yang beliau derita, tapi sudah merembet pada jantung dan terakhir mengalami gagal ginjal.

Seminggu sebelum kepergiannya, beliau hanya bisa terbaring saja. Selama itu saya pribadi belajar banyak tentang perjuangan seorang ibu dalam membesarkan anak-anaknya. Ketika saya menyuapi beliau sungguh merupakan adegan yang paling berkesan dalam hidup ini. Apalagi ketika beliau menikmatinya sampai lontong sayur satu porsi tuntas di lahapnya.

Di ranjang yang sederhana dan dengan dikerumuni oleh banyak orang termasuk oleh bapak dan ketiga anaknya yang terus mengajarinya dengan Kalimat Tauhid di telinganya. Setelah koma selama hampir tiga hari, akhirnya beliau pulang ke kampung aslinya yang abadi . Dengan air mata yang terus keluar dan membasahi pipinya. Bagi saya, kondisi ibu yang wafat seperti itu telah menandakan bahwa Allah SWT telah mengampuninya dan menyediakan imbalan dari perjuangannya selama ini.

Saya pun kembali harus menyediakan banyak ruang kebanggaan ketika membuka halaman 146 sampai 180 dari buku the great power of mother tersebut . Orang-orang hebat seperti Imam Abu Hasan al-Asyari, Imam Bukhari, Imam Syafi'i, Imam Malik bin Anas, Hasan Al Banna serta Sayyid Quthb ternyata berangkat dari keluarga (ibu) yang menaruh besar akan pentingnya manifestasi pendidikan.

Lalu, bagaimana dengan seorang ibu yang menyuruh anaknya bekerja sebelum waktunya demi alasan menopang biaya hidup karena kemiskinan yang masih jamak terjadi di lingkungan kita?
Agaknya saya harus sedikit bersikap narsis yang menganggap Ibu saya adalah orang yang paling hebat, setidaknya dalam lingkungan ibu saya tiinggal. Tapi narsis ini sedikit-demi sedikit tergerus dikarenakan saya harus mencoba memperluas penafsiran kita atas sikap yang dilakukan oleh ibu kita masing-masing.

Pasti ada alasan mendasar. Setiap dari kita tentulah harus meyakini betul bahwa seorang ibu yang sejati tidak akan pernah menjerumuskan anaknya ke lubang kerusakan, tapi selalu berusaha semaksimal mungkin untuk kebaikan anaknya kelak.

Untuk itulah diperlukan kearifan dalam memahami langkah si ibu. Jadi, sejenak sama-sama membanggakan ibu kita masing-masing. Ibu saya adalah ibu yang paling hebat karena kepeduliannya terhadap pendidikan. Ibu Anda yang mungkin saja mengambil jalan lain (bukan lewat pendidikan) untuk menentukan masa depan anaknya.

Maka, saya mulai tidak akan menyalahkan ketika seorang ibu menyuruh anaknya bekerja di usia yang belum sepantasnya anak itu bekerja walaupun saya masih tidak sepakat untuk hal itu. Namun, saya akan mencoba memahami dengan tafsiran lain dan dalam perspektif yang berbeda.
Akhirnya, saya akan mengatakan: Ibu saya adalah ibu yang paling hebat. Anda juga harus berkata demikian: Karena ibu kita memang hebat-hebat. Silakan kita (sebagai anak) memaknai kehebatan ibu kita masing–masing. Kehebatan merupakan kata yang abtrak yang bisa mencakup beribu-ribu pemaknaan.

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More